Menggapai Jenjang Perwalian (Seri-2)

Ciri-ciri wali  Allah

Allah telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firman-Nya,

{أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ}

Ingatlah, sesungguhnya para wali-wali Allah mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertakwa.” (Q.S. Yunus: 62-63).

Ciri pertama: Beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapakan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Allah. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Allah, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala Rasul dan Nabi.

Ciri kedua: Bertakwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan Sunah. Maka oleh sebab itu, kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Allah maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali Setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.

Ciri-ciri wali Setan

Adapun ciri wali Setan adalah orang yang mengikuti kemaun Setan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk  kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Allah. Banyak cara Setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdoa atau meminta dikuburan wali, Setan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.

Sebagaimana Allah terangkan dalam firman-Nya bahwa Setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka,

{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ}

Sesunguhnya Setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Q.S. Al-An’aam: 121).

Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa dikuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Allah dengan kehormatan seorang Nabi? Jelas Nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada Nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja Nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati! Kalau hal itu benar tentulah para shahabat akan berbondong-bondong kekuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat pace klik terjadi di Madinah Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukanya Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.

Kemudian bentuk lain dari cara Setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotifasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat masyhur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan Sunah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian diakhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jumat? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.

Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan Setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan Setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tau tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah amalanya sehari-hari menurut Sunah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’I, “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan Sunah.”

Karena Setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitau para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara Setan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad, dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan Setan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Kitika ia mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang menceritakannya kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang shahabat tersebut menjawab, “Benar,” Kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah,

{هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ . تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ}

Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para Setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa. “ (Q.S. Asy Syu’araa: 221-222).

Dan yang lain menbaca firman Allah,

{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ}

Dan sesungguhnya para Setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu.” (Q.S. Al An’aam: 121).

Oleh sebab itu, bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenaranya dengan Alquran dan Sunah.

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits,

Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari Setan dan bisikan dari malaikat.” (H.R. At Tirmizy no: 2988).

Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany, “Boleh jadi terbetik dihatiku apa yang terbetik dihati mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan Sunah.”

=Bersambung insya Allah=

Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com

2 thoughts on “Menggapai Jenjang Perwalian (Seri-2)

  1. susah untuk memberi pemehaman yg “benar” terhadap para pelaku syirik !! semoga Allah SWT memberi petunjuk kpd mereka

Leave a Reply

Your email address will not be published.