Menggapai Jenjang Perwalian (Seri-1)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para shahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

عَن أبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله  صلى الله عليه وسلم: قال: إنَّ اللهَ قال مَنْ عادَى لِيْ وَلِياً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَ لاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَى أُحِبُّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعُهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرُهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدُهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلُهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ رواه البخاري

Terjemahan hadits:

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه ia berkat, ‘Telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم; “Sesungguhnya Allah telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai  tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dari-Ku pasti Aku akan melindunginya.’”

Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahinya, hadits no: 6137.

Hadits ini disebut juga hadits qudsi, karena Nabi صلى الله عليه وسلم meriwayatkan perkataan Allah secara langsung. Adapun perbedaan antara hadits qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat; yang masyhur dikalangan para ulama adalah bahwa hadits qudsi lafadz dan maknanya datang langsung dari Allah adapun hadits biasa lafadznya dari Nabi صلى الله عليه وسلم sedangkan maknanya dari Allah subhaanahu wa Ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits qudsi dengan Alquran? Karena keduanya sama-sama datang dari Allah baik lafadz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Alquran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. Wallahu a’alam bissawaab.

Shahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah Abu Hurairah رضي الله عنه, shahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Nama beliau: Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada tahun 57 H.

Mengapa beliau shahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?

Pertama: berkat doa Nabi صلى الله عليه وسلم kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.

Kedua: ia selalu bersama Nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari Nabi  adapun para shahabat yang lain mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka.

Imam Adz Dzahaby menyebutkan dalam kitab “Siyyar”, seseorang bertanya kepada Thalhah bin Ubaidillah: Kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Thalhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah صلى الله عليه وسلم hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasululllah صلى الله عليه وسلم, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendegarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah صلى الله عليه وسلم.

Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri Beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau,  maka oleh sebab itu (demi Allah) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.

Kandungan hadits

Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:

Pertama: Tentang al wala wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).

Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya.

Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Allah dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para shahabat, sebab Mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya Mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar. atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang Shiffin dan Jamal.

Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada AhlusSunah, atau kebencian orang-orang munafiqin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan Sunah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh AhlusSunah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Allah adalah kaum Rafihdah (Syi’ah), Mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Allah setelah para Nabi dan Rasul yaitu para shahabat yang mulia. Mereka orang-orang Rafidhah mengkafirkan dan mencaci para shahabat yang telah berjuang dijalan Allah untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga Mereka.

Imam Asy Sya’by mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Allah melebihi kebencian Yahudi dan Nasrani kepada para wali Allah, “Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu?” Ia akan menjawab, “Sahabat Musa”. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani, “Siapa generasi terbaik agamamu?” Ia akan menjawab: “Sahabat Isa”. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang Rafidhah, “Siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab, “Shahabat Muhammad.”

Oleh sebab itu, Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “Sebetulnya mereka itu ingin membatalkan Alquran dan Sunah, tapi Mereka tidak mampu maka mereka ingin mencela orang yang menyampai Alquran dan Sunah supaya bisa membatalkan Alquran dan Sunah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, mereka itu adalah orang-orang zindik.

Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari Sunah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama mereka bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut Sunah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu Mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak Sunah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam kepada mereka.

Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Allah itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.

Pengertian wali

Wali secara etimologi berarti dekat.

Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama Ahlussunah, Wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan Nabi.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertakwa adalah disebut wali Allah, dan wali Allah yang paling utama adalah para Nabi, yang paling utama diantara para Nabi adalah para Rasul, yang paling utama diantara para Rasul adalah Ulul ‘Azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘Azmi adalah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Maka para wali Allah tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Allah.

Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Allah terbagi kepada dua golongan;

Golongan petama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu Mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (Sunah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib.

Sebagaimana lanjutan hadits “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan Sunah hingga Aku mencintainya.”

Golongan kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.

Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits diatas, “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.”

Kedua golongan ini disebutkan Allah dalan firman-Nya,

{فَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ . فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ . وَأَمَّا إِن كَانَ مِنَ أَصْحَابِ الْيَمِينِ . فَسَلَامٌ لَّكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ}

Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan.” (Q.S. Al Waaqi’ah: 88-91).

Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan mereka kepada dua bagian; wali Allah dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Alquran dan Sunah maka dia adalah wali Allah sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
=Bersambung insya Allah=

Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.