Islam Bukan Budaya Arab (Bagian – 1)

islam bukan budaya

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.

Segala puji bagi Allah , selawat dan salam buat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para pembaca yang mula, semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk mengikuti kebenaran dan melindungi kita dari segala kebatilan…

Pada akhir-akhir ini kita sering diperdengarkan sebuah istilah dalam penyebutan sebuah konsep keberagamaan baru dengan istilah; Islam Nusantara. Istilah ini mulai mengemuka setelah penggunaan langgam Jawa dalam tilawah Al Qura pada tanggal 17 Mei di Istana Negara. Kejadian tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan, kejadian tersebut bukan sebuah kejadian yang tanpa disengaja akan tetapi itu merupakan sebuah konsep yang akan digulirkan oleh menteri Agama RI! Kemudian istilah ini lebih mengelinding lagi bagaikan bola salju ketika muktamar NU ke 33 di Jombang mengambil tema: “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Alhasil isu Islam Nusantara menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh banyak pihak, mulai dari tokoh agama, tokoh politik dan kalangan akademisi. Akan tetapi berbagai tanggapan dan ocehan seputar Islam Nusantara belum juga bisa didudukan dengan jelas, karena memang salah satu target dari pencetusan ide ini adalah untuk menimbulkan kebingungan yang berkepanjangan di tengah masyarakat. Kenapa masalahnya sulit untuk dicarikan titik temu penyelesaian? Karena Istilah Islam Nusantara, disatu sisi bisa benar dan pada sisi lain salah, alias samar-samar (Mutasyaabih). Kalau kita umpamakan istilah Islam Nusantara bagaikan ular berkepala belut, mau dikatakan halal ada unsur haramnya, sebaliknya jika dikatakan haram ada pula unsur halalnya. Perlu kita ketahui bahwa menggunakan bahasa yang samar (Mutasyaabih) adalah salah satu metode pemasaran pemikiran sesat yang dilakukan oleh orang-orang sesat dari dahulu kala. Sepeti Allah menceritakan kebiasan orang Bani Israil:

{وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [البقرة/42]

“Janganlah kamu mencampur adukan yang hak dengan yang batil, dan jangan kamu menyembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahui”.

Oleh sebab itu Allah melarang mengikuti istilah yang memiliki penafsiran ganda. Seperti Allah melarang orang Islam untuk meniru-niru istilah orang Yahudi yang biasa mereka gunakan untuk mengejek Nabi Muhammad .

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا} [البقرة/104]

“Wahai orang-orang yang beriman! Jangan kalian mengucapkan: Raa’ina, akan tetapi ucapkanlah: uzhurna!”

Kata-kata Raa’ina memiliki makna ganda, bisa berarti “dengarkanlah kami! Dan juga bermakna celaan. Akan tetapi orang-orang Yahudi mengucapkannya untuk mencela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi agar tidak terjadi kesamaran dalam sebuah istlah atau ungkapan, Allah melarang orang-orang mukmin menggunakan dan mengucapakan kalimat resebut. Oleh sebab sangat latah jika kita ikut-ikutan menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan polemik dalam pemahaman.

Tujuan penggunaan istilah yang abu-abu adalah untuk mengelabui orang awam, atau jika mereka berhadapan dengan lawan yang kuat mereka munculkan sisi benarnya, dan mereka akan terang-terangan bila berbicara dihadapan sesama rekan mereka, dimana hakikat ide Islam Nusantara adalah untuk menghambat perkembangan dakwah yang hak, dakwah yang mengajak untuk menjalan Islam yang belum terkontaminasi oleh berbagai budaya, yang dalam istilah mereka disebut Islam Arab.

Kalau kita cermati banyak hal yang perlu dipertnyatakan tentang ide dan konsep Islam Nusantara tersebut. Diantara pertanyaan tersebut; Apa dasar pemikiran Islam Nusantara? Apa Tujuannya? Kalau jawabannya: Dasar pemikiran Islam Nusantara Al Quran dan Sunnah. Berarti tidak ada bedanya dengan Islam yang sudah diamalkan sejak kedatangan Nabi Muhammad . Tapi bila jawabannya: Islam yang berdasarkan budaya maka berarti berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu tujuannya apa? Kalau jawabanya untuk terciptanya kedamaian dan toleransi dalam kehidupan bernegara. Bukankah Islam datang untuk menegakkan misi ini? Bukankah hal ini sudah dibuktikan dalam sejarah Islam sewaktu Islam berkuasa Di Madinah, Syam dan Andalusia? Tapi bila jawabannya untuk menjadikan Indonesia sebagai model percontohan kedamaian dan toleran. Kenapa Islam Nusantara tidak toleran terhadap orang-orang tidak mau dengan konsep Islam Nuantara? Apa toleran itu berlaku untuk sesama pemeluk Islam Nusantara saja?
Kenapa istilah Islam Nusantara harus disandingkan dengan istilah Islam Arab? Yang pada akhirnya akan melahirkan sebuah polemik anti Arab. Kenapa yang ditolak itu budaya Arab saja dan tidak disebutkan menolak budaya Barat juga?

Suatu pertanyaan lagi adalah kenapa yang ending itu Istilah Islam Nusantara yang diusung oleh NU? Bukan istilah Islam Yang Berkemajuan yang diusung oleh Muhammadiyah?

Kenapa yang dianggap sebagai Islam Nusantara hanya tradisi keberagamaan yang dilakukan oleh masa NU, kenapa pengamalan ormas-ormas Islam lain tidak dianggap sebagai bagaian dari islam Nusantara? Bahkan ada yang lebih fatal lagi untuk menilai seseorang itu pro NKRI atau tidak dilihat dari sisi tahlilan atau tidak!? Bukankah di sana amat banyak sekali ormas yang tidak melakukan tahlilan? seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad dll. Bahkan diantara ormas Islam tersebut ada yang lebih dahulu lahir dari ormas NU. Berati Islam Nusantara adalah paham yang kaku, tidak toleran dan radikal.

Rasanya kita tidak perlu membuang waktu dan energi untuk membuktikan kelabilan konsep Islam Nusantara dari berbagai sisi. Cukup kita melihat siapa yang melakoni atau pencetus Islam Nusantara itu sendiri. Apakah mereka para pencetus Islam Nusantara orang yang patut dicontoh pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam? Apakah mereka orang-orang yang benar-benar berakhlak mulia? terutama terhadap orang yang menegakkan dan menjalan ajaran Islam dengan baik? Atau malah sebaliknya; suka memperolok-olok dan melecehkan para penegak sunnah? Apakah mereka selama ini adalah para pembela Islam atau sebaliknya? Apakah pemahaman mereka lebih baik dari pemahaman para sahabat? Sehingga teori yang mereka cetuskan lebih baik dari keislaman para sahabat? Apakah mereka orang yang taat beribadah dan suka membaca Al Quran? Apakah alasan dan hal yang melatar belakangi lahirnya konsep Islam Nusantara belum tercover dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disebarkan oleh para sahabat?

Berikut ini kita akan mengupas topik Islam Bukan Budaya Arab, tidak seperti yang disinyalir oleh kaum SIPILIS termasuk Jemaat Islam Nusantara bahwa ajaran Islam sarat dengan budaya Arab.

• Difinisi Budaya dan Hakikatnya

Secara etimologi budaya dalam bahasa Arab disebut ‘Aadah atau ‘Uruf. (lihat: “al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah”: 30/53).

Secara terminologi Budaya berarti kebiasaan dalam masyarakat baik berbentuk ucapan maupun perbuatan yang sesuai dengan akal sehat dan tabi’at baik. (lihat: Ya’qub bin Abd Wahab, “Qaa’idah al ‘Aadah Muhakkamah”, hal: 27).

Namun sebagian diantara ulama ada yang membedakan antara ‘Aadah dengan ‘Uruf secara terminologi, ada yang mengatakan ‘Aadah lebih umum, sedangkan ‘Uruf lebih umum. Dan ada pula yang berpendapat sebaliknya, wallahu a’lam. (lihat: Ya’qub bin Abd Wahab, “Qaa’idah al ‘Aadah Muhakkamah”, hal: 49).

Pengertian budaya dalam bahasa Arab tidak berbeda dengan pengertiannya dalam bahasa lain. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).

Di jelaskan dalam wikipedia: Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya).

Pengertian budaya menurut ilmuwan Barat juga tidak jauh berbeda dengan pengertia yang dijelaskan oleh para ulama islam. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. (lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya).

Dapat disimpulkan dari berbagai penjelasan diatas bahwa hakikat budaya adalah hasil dari buah pikiran manusia yang dianggap baik oleh masyarakat tertentu. Baik buruknya budaya berbeda-beda berdasarkan persepsi masing-masing masyarakat, lalu menjadi tabi’at mereka sehari-hari. Maka suatau budaya bisa dianggap baik oleh sekelompok masyarakat namun juga dianggap tidak baik oleh sekelompok masyarakat lain. Dalam artian bahwa kebenarannya relativ dan tidak absolut. Contoh dalam budaya barat lesbi, homoseksual dan minum khamar adalah budaya yang maju dalam sisi kebebasan. Namun buda tersebut sangat tidak cocok di tengah-tengah budaya masyarakat timur.

Atau bisa saja suatau budaya pada suatu masa dianggap baik, namun pada masa yang lain bisa dianggap tidak baik oleh masyarakat yang sama. Berarti penilai terhadap sebuah budaya itu bisa berubah-ubah atau kondisional. Contoh dulu masyarakat eropa lebih suka budaya sosialisme akan tetapi sekarang budaya yang mereka sukai adalah budaya kapitalisme.

Maka pada berikut ini kita akan dijelaskan beberapa sisi perbedaan antara Islam dengan Budaya…

Bersambung insya Allah…

Leave a Reply

Your email address will not be published.