Eksistensi Hakikat dan Syariat dalam Istilah Sufi (Seri 01)

Eksistensi hakikat menurut orang-orang sufi adalah takwil-takwil yang mereka reka-reka dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Kemudian mereka simpulkan bahwa takwil-takwil tersebut hanya bisa diketahui oleh orang-orang khusus, atau mereka sebut ulama khos (khusus) diatas tingkatan ini ada lagi tingkat yang lebih tinggi yaitu ulama khasul khos (amat lebih khusus) atau mereka sebut ulama hakikat.

Adapun syariat menurut mereka adalah lafaz-lafaz dan makna yang zhohir dari nash-nash Alquran dan sunnah. Hal ini dipahami oleh orang-orang awam (biasa), maka mereka menamakan ulama yang berpegang dengan pemahaman ini dalam menghayati ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dengan ulama ‘Aam (umum) atau ulama syari’ah.

Dari sini mereka membagi ulama kepada dua bagian; ulama hakikat dan ulama syariat, atau ulama batin dan ulama zahir.

Menurut mereka ulama hakikat atau ulama batin lebih tinggi kedudukannya dari ulama syariat atau ulama zahir. Karena menurut pengakuan mereka ulama hakikat dapat menyelami rahasia-rahasia ghaib yang tersembunyi dalam nash-nash Alquran dan sunnah. Untuk mengetahui rahasia-rahasia tersebut mereka memiliki rute-rute yang mesti dilewati. Disamping itu mereka memiliki trik-trik dalam mempengaruhi orang-orang di luar mereka dengan berbagai cerita-cerita bohong.

Diantara bentuk-bentuk rute-rute sesat mereka adalah puasa selama empat puluh hari berturut-turut, bersemedi dalam sebuah gua, tidak boleh memakan hewan yang disembelih atau bintang yang berdarah, atau dilarang memakan makanan yang dibakar dengan api.

Adakalanya mereka dalam melegalkan takwil-takwil sesat (ilmu hakikat) mereka dengan mengaku bermimpi bertemu salah seorang nabi, seperti nabi Khaidhir atau nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Atau mereka bermimipi bertemu dengan salah seorang wali, seperti Abdul Qadir Jailany atau yang lainnya.

Dan adakalanya mereka mengaku dalam mendapatkan takwil-takwil (ilmu hakikat) tersebut dengan melalui berzikir sampai tidak sadarkan diri. Karena diantara kebiasaan mereka adalah melantunkan salawatan dan syair-syair zuhud dengan berdendang dan bergoyang sampai larut malam[1].

Disamping itu mereka menghina dan mencela orang-orang yang menuntut ilmu dangan cara belajar kepada para ulama dan mereka sebut ini ilmu syariat. Mereka katakan bahwa ilmu mereka (ilmu hakikat) lebih utama dari ilmu syariat yang dipelajari melalui para ulama. Karena ilmu mereka (ilmu hakikat) mereka dapatkan langsung dari Allah. Bahkan ilmu mereka lebih tinggi dari pada ilmu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendapat ilmu melalui perantara yaitu malaikat Jibril adapun ilmu mereka langsung mereka dapatkan dari sumber dimana jibril mendapatkannya (langsung dari Allah tanpa melalui malaikat Jibril). Maka ilmu mereka tidak melalui perantara tetapi langsung dari Allah. Sehingga mereka mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku hatiku dari tuhanku.” Kadangkala mereka menyebut ilmu mereka (ilmu hakikat) dengan istilah ilmu ladunny.

Menurut mereka ilmu hakikat atau ilmu batin dan ilmu ladunni lebih utama dari ilmu Alquran dan sunnah. Orang yang telah memiliki ilmu tersebut tidak butuh lagi kepada Alquran dan sunnah, mereka lebih PeDe (percaya diri) dengan ilmu ladunny.

Dengan cara-cara demikian mereka dapat mengelabui orang-orang awam dan orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup dalam akidah.

Bila kita teliti kandungan Alquran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam beserta perkataan para sahabat juga ulama-ulama terkemuka dikalangan umat ini tidak ada yang menyatakan bila kita beselisih dalam hal agama ini kembali kepada ilmu ladunni. Tetapi semua umat Islam bersepakat jalan keluar dari segala perselisihan adalah kembali kepada Alquran dan sunnah sebagaimana perintah Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah,

{ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا} [النساء/59]

“Maka jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

((فإنه من يعيش منكم فسيرى اختلافا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ)) رواه الترمذي وصححه.

“Maka sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian akan melihat perpecah belahan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah para khulafa rasyidin. Genggamlah erat-erat! Dan gigitlah dengan geraham.”

Kesesatan keyakinan orang-orang sufi tentang ilmu hakikat tidak hanya ditentang oleh para ulama’ Ahlussunnah tapi mendapat celaan dan cercaan dari tokoh-tokoh sufi sendiri sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnul Jauzi pada berikut ini,

Berkata Ibnul Jauzi, “Sesungguhnya kebanyakan orang-orang sufi membedakan antara syariat dan hakikat, ini sebuah kebodohan dari orang yang mengatakannya. Karena sesungguhnya syariat seluruhnya adalah hakikat. Jika yang mereka maksud dengan demikian itu adalah rukhshah (kemudahan) dan ‘Aziimah (ketegasan), maka masing-masing keduanya adalah syariah. Sesungguhnya sekelompok dari golongan terkemuka dari mereka telah mengingkari dalam hal berpalingnya mereka dari ilmu zahir dalam syariat.”

Celaan tokoh-tokoh sufi terhadap ilmu hakikat

Diriwayatkan dari Abu Hasan bin Salim ia berkata, Seseorang datang kepada Sahal bin Abdullah ia membawa pena dan buku, ia berkata kepada Sahal, ”Aku datang untuk  mencatat sesuatau yang Allah bisa memberi manfaat kepadaku dengannya.” Jawab Sahal, ”Tulislah! Jika engkau mampu menemui Allah dalam keadaan membawa pena dan buku maka lakukanlah!” Lalu orang tersebut berkata, ”Berilah aku suatu faedah (tentang ilmu).” Jawab Sahal, ”Dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali yang berupa ilmu. Dan ilmu seluruhnya adalah hujjah (yang harus dipertangungjawabkan) kecuali yang berbentuk amal. Dan amal seluruhnya akan ditunda penerimaannya kecuali yang sesuai menurut Alquran dan sunnah. Dan sunnah ditegakkan diatas ketaqwaan.”

Diriwayatkan pula dari Sahal bin Abdullah, “Jagalah hitam di atas putih, tidak seorangpun meningaalkan yang Zahir (jelas) kecuali ia menjadi Zindiq.”

Diriwayatkan juga dari Sahal bin Abdullah, ia berkata, “Tiada jalan yang lebih utama untuk menuju Allah dari pada jalan ilmu. Jika engkau berpaling dari jalan ilmu satu langkah niscaya engkau akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh pagi.”

Dalam ungkapan di atas Sahal menegaskan bahwa ilmu dan amal yang akan diterima Allah hanyalah yang sesuai dengan apa yang terdapat dalam Alquran dan sunnah.

Berkata Abu Bakar Addaqaaq, ”Aku mendengar Abu Sa’id Al Kharaaz berkata, ’Setiap ilmu batin yang bertentangan dengan ilmu zahir maka itu adalah batil (kebatilan).’”

Berkata Abu Bakar Addaqaaq, “Saat aku melewati padang Tiih Bani Israil, terbetik dalam pikiranku bahwa ilmu hakikat bertetangan dengan ilmu syari’at. Lalu aku mendengar suara dari arah bawah pohon, ’Setiap ilmu hakikat yang tidak sesuai dengan ilmu syariat maka itu adalah kekafiran.’”

Berkata Ibnul Jauzi, “Imam Al Ghazaly telah memperingatkan dalam kitab Al-Ihyaa’, ia berkata, “Sesungguhnya ilmu hakikat yang menentang ilmu syariat atau ilmu batin yang menentang ilmu zahir maka ia kepada keakfiran lebih dekat daripada kepada keimanan.”

Berkata Ibnu ‘Uqail, “Orang-orang sufi menjadi syariat sebatas nama semata. Mereka mengatakan yang dimaksud darinya adalah hakikat, ini adalah pendapat yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan dan jalan penghabaan para makhluk. Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan)[2].”

Orang-orang zindiq telah menjadikan ilmu hakikat tersebut sebagai tameng untuk menolak hukum-hukum syariat dan sebagai topeng untuk menutup kekufuran mereka.

Berkata Ibnul Jauzi, “Orang-orang Zidiq tidak berani melangkah untuk menolak hukum-hukum syariat sampai datang orang-orang sufi, mereka datang dengan bantuan para pelaku maksiat. Pertama kali mereka membuat istilah hakikat dan syariat, ini adalah tindakan yang keji. Karena syariat adalah datang dari Allah untuk kebaikan para makhluk. Maka tidak ada dibalik hakikat kecuali sesuatu yang dibisikan setan kedalam jiwa seseorang. Setiap orang yang mengaku mendapat ilmu hakikat di luar ketentuan ilmu syariat maka itu adalah tipuan (setan). Jika mereka mendengar seseorang meriwayatkan hadits, mereka katakan, “Kasihan sangat bodoh, kenapa mereka mau mengambil ilmu melalui yang mati dari yang mati! Sedangkan kita mengambil ilmu langsung dari Zat Yang tidak pernah mati.” Barangsiapa yang berkata, “Telah menceritakan kepadaku bapakku dari kakekku”. Justru aku berkata: :”Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku”. Kata Ibnul Jauzi: “Mereka (orang-orang sufi) telah binasa dan telah membinasakan orang lain dengan khrafat-khurafat ini. Orang-orang bodoh tertipu sehingga mengorbankan harta demi untuk mereka[3].”

Dengan mengaku mendapat ilmu hakikat mereka bisa mengelabui dan berkilah untuk meninggalkan perintah-perintah agama.

Berkata Ibnul Jauzi, “Ketahuilah bahwasanya melaksanakan tugas-tugas agama amat berat, tiada yang lebih mudah bagi para pelaku maksiat dari meninggalkan jamaah. Tidak ada yang lebih berat bagi mereka dari perintah dan larangan-larangan agama. Tidak ada yang lebih berbahaya terhadap agama dari orang-orang Ahlul kalam dan orang-orang sufi. Mereka merusak keyakinan manusia dengan mempermainkan kelicikan akal. Dan mereka ini merusak amal dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Mereka suka nganggur dan mendengarkan nyanyian. Para generasi salaf tidak demikian halanya dalam hal keyakinan mereka hamba yang percaya sepenuhnya dan dalam hal amal mereka orang yang paling sungguh melakukan amal. Berkata Ibnul Jauzi, “Nasehatku kepada para saudaraku jangan sampai hati mereka dicekoki perkataan para ahli kalam dan jangan sampai pendengaran mereka diserahkan kepada khurafat-khurafat sufi. Lebih baik mereka sibuk mencari kebutuhan hidup daripada nonkrong bersama orang-orang sufi. Mencukupkan diri dengan ilmu zahir (Ajaran Al Quran dan sunnah) jauh lebih baik daripada terjerumus kedalam kesesatan. Sungguh telah aku kabarkan tentang jalan kedua kelompok tersebut (ahlul kalam dan sufi). Kesudahan orang-orang ahlul kalam adalah kebingungan dan kesudahan orang-orang sufi adalah kebodohan.”

Berkata Ibnu ‘Uqail, “Kesudahan perkataan orang-orang sufi mengingkari kenabian. Bila mereka berbicara tentang ahli hadits, mereka katakan, “Mereka mengambil ilmu orang mati dari yang mati, maka mereka telah menolak kenabian. Mereka merasa cukup dengan ilmu mereka, bila mereka menghina jalan (ahli hadits) tentu mereka tidak akan simpati mengambil ilmu melalui jalan tersebut. Barangsiapa yang berkata, ”Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” maka ia telah terus terang tidak butuh kepada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Barang siapa yang menyatakan demikian maka sungguhnya ia telah kafir. Kalimat ini telah disusupkan kedalam agama yang tersembunyi dibawahnya sebuah ke-zidiq-kan (kemunafikkan). Jika kita melihat seseorang mencela Alquran dan hadits, sebaiknya kita tau bahwa ia telah mengingkari perintah syariat. Orang yang mengatakan:: ” Telah menceritakan kepadaku hatiku dari Tuhanku” semestinya ia sangsi, bahwa itu adalah bisikan setan.

Sesungguhnya Allah telah berfirman,

{وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ} [الأنعام/121]

“Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.”

Dan ini amat jelas, karena ia meninggalkan dalil yang maksum dan memilih apa yang terbetik dalam hatinya yang tidak bisa dipastikan selamat dari bisikan-bisikan setan[4].”

Diantara orang-orang sufi ada yang berkilah bahwa itu adalah ilham, namun jika ditanya dimana anda bisa memastikan bahwa itu adalah ilham? Dengan apa anda bisa membedakan antara ilham dengan apa yang dibisikan setan? Maka satu-satunya alat termometer yang jitu untuk membedakan antara ilham dengan bisikan setan adalah ilmu syari’at. Berarti ilmu hakikat butuh kepada ilmu syariat sebaliknya ilmu syariat tidak butuh kepada ilmu hakikat. Orang-orang yang mau menerima petunjuk akan berkesimpulan bahwa ilmu syariat lebih mulia dari ilmu hakikat orang-orang sufi.

Berkata Ibnul Jauzi, “Mempercayai ilham tidak harus mengikari ilmu (syari’at). Kita tidak mengingkari bahwa Allah memberikan ilham kepada seseorang. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

((إن في الأمم محدثين وإن يكن في أمتي فعمر)). رواه أحمد، وقال شيعب الأرنؤوط: صحيح.

Sesungguhnya pada umat-umat yang lalu ada orang-orang yang diberi ilham, jika terdapat diantara umatku maka ia adalah Umar radhiallahu ‘anhu.”

Yang dimaksud dengan kalimat (التحديث) adalah ilham tentang kebaikan. Tetapi seseorang yang mendapat ilham bila diberi ilham yang bertentangan dengan ilmu (syariat), maka ia tidak boleh melakukannya. Adapun Khaidhir maka ia adalah nabi, tidak diragukan lagi para nabi dapat mengetahui akibat-akibat sesuatu melalui wahyu. Ilham tidak termasuk ilmu sedikitpun. Hanya saja ia adalah buah dari ilmu dan ketaqwaan, maka orang tersebut diberi taufik untuk hal yang baik dan ilham petunjuk. Adapun sikap meninggalkan ilmu dan bergantung kapa ilham dan bisikan hati semata, maka hal ini tidak bernilai apa-apa. Jika bukan karena ilmu syariat kita tidak akan bisa mengetahui apa yang terdapat dalam hati, apakah ia ilham atau bisikan-bisikan setan. Ketahuilah sesungguhnya ilham yang terdapat dalam hati tidak cukup tanpa ilmu syariat. Sebagaimana ilmu akal tidak cukup tanpa ilmu syariat.

Adapun ungkapan, “Mereka mengambil ilmu dari orang mati meriwayatkan dari orang yang mati”. Penilaian terbaik untuk orang yang mengatakannya adalah ia tidak tau tentang apa yang tersimpan dalam kata-kata ini. Sebenarnya ini adalah cacian terhadap syariat (agama). Kemudian ia sebutkan ungkapan Al-Ghazali tentang sebab-sebab orang sufi suka bersemedi dan meninggalkan ilmu serta lebih mengutamakan berzikir dari membaca Alquran. Lalu ia komentari dengan ungkapanya berikut, “Amat disayangkan kata-kata seperti ini muncul dari seorang faqih, tidak diragukan lagi tentang kekejian ungkapan ini. Hakikat dari ungkapan ini adalah membuang perintah-perintah agama yang memerintahkan membaca Alquran dan mencari ilmu. Aku mendapati para ulama terkemuka dari berbagai kota tidak pernah menempuh cara ini. Tetapi mereka menyibukan diri pertama kali dengan mencari ilmu[5].”
-Bersambung insya Allah

Penulis:  DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com


[1] Lihat Talbis Iblis karangan Ibnul Jauzy: 302.

[2] Ungkapan-ungkapan di atas disebut Ibnul Jauzy dalam kitanya Talbis Iblis, 394-395.

[3] Lihat Talbis Iblis, 450.

[4] Lihat Talbis Iblis, 451.

[5] Lihat Talbis Iblis, 392.

Leave a Reply

Your email address will not be published.