Terorisme (Seri 2)

membongkar-kesesatan-terorisBerbagai Segi Pelanggaran Terorisme Terhadap Syari’at Islam

1. Pengkafiran terhadap kaum muslimin.

Aksi-aksi teror yang terjadi didukung oleh doktrin-doktrin sesat yang ditanamkan kepada para pelaku teror. Mereka meyakini bahwa orang muslim di luar kelompok mereka dianggap telah murtad (keluar) dari Islam. Alasannya -menurut mereka- adalah karena mereka -kaum muslimin- diam terhadap kezaliman yang terjadi dan tidak mau bergabung dengan mereka dalam melawan penguasa yang tidak menjalankan Islam secara sempurna dalam kekuasaan mereka. Maka orang yang tidak sependapat dan tidak mendukung aksi teror mereka dalam menegakkan keadilan, menurut mereka adalah penentang Islam. Siapa yang menentang Islam berarti ia sudah kafir. Demikianlah filosofi pengkafiran gerakan terorisme dalam menghalalkan darah orang muslim yang di luar kelompok mereka.

Kita tidak mengingkari tentang adanya hal-hal yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Akan tetapi ada kode etik dan syarat-syarat serta hal-hal yang menghambat dijatuhkannya vonis kafir kepada seseorang. Hal ini tidak pernah luput dalam kupasan para ulama yang menulis kitab-kitab aqidah Ahlussunnah. Kemudian yang berhak menerapkan kode etik serta berbagai ketentuan tersebut adalah ulama yang terpercaya dalam ilmunya. Bukan sembarang orang yang berhak untuk menerapkannya kepada siapa saja, terlebih anak-anak muda yang baru belajar tentang Islam. Karena banyak hal yang perlu diketahui dan dipahami dalam masalah tersebut. Pertama hal yang menjadi poin pengkafiran harus ada dalil yang jelas dari Al Qur’an dan Sunnah, bukan dalil yang samar-samar, apalagi hanya disandarkan kepada sangkaan atau berita media informasi yang tidak akurat. Pembahasan ini sangat luas dan panjang sehingga tidak mungkin kami jelaskan dalam kesempatan terbatas ini. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar tidak bermudah-mudah dalam menuduh seseorang kafir, karena bahaya dan akibatnya sangat fatal. Sahabat Abu Dzar menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

((وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ» رواه مسلم

“Barangsiapa memanggil seseorang dengan (sebutan) kafir atau mengatakannya sebagai musuh Allah sementara halnya tidak demikian, maka hal tersebut kembali kepada pengucapnya.” (HR. Muslim).

Demikian besarnya dosa orang yang memvonis orang muslim dengan kafir tanpa ada dalil. Bagaimana jika yang di vonis kafir itu seluruh kaum muslimin secara mutlak, tentu dosanya akan lebih besar lagi. Berkata Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, “Saya tidak mengkafirkan seorangpun dari kalangan muslim yang melakukan dosa. Dan tidak pula mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.”

Komentar: Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau membawa paham teroris, mengkafirkan kaum muslimin atau berfaham khawarij.[1]

2. Menentang dan membangkang terhadap penguasa.

Doktrin terorisme telah melanggar aqidah Ahlussunnah tentang wajibnya taat dan patuh kepada penguasa dalam hal yang baik, sekalipun mereka berbuat zalim. Hal ini telah disepakati oleh seluruh ulama Ahlussunnah. Jika penguasa menyuruh kita melakukan hal yang haram, kita dilarang untuk mentaatinya dalam hal tersebut. Tetapi hal itu bukan berarti kita boleh mencela dan merongrong kekuasaannya, serta menentangnya dalam perintah lain yang sesuai dengan kebenaran.

Oleh sebab itu, kitab-kitab aqidah Ahlussunnah tidak pernah luput dari menjelaskan tentang hal tersebut, karena begitu banyak dalil menegaskan masalah tersebut.

A. Dalil dari ayat-ayat  Alquran

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ} [النساء/59]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”

Syeikh As-Sa’dy berkata dalam tafsirnya, “Allah perintahkan untuk taat kepada Ulil Amri, yakni para penguasa dan pejabat serta para mufti. Sesungguhnya tidak akan pernah berjalan baik urusan agama dan dunia kecuali dengan mentaati dan mematuhi mereka, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan mengharap pahala di sisi-Nya. Akan tetapi hal itu dengan syarat tidak dalam hal bermaksiat kepada Allah.”[2]

{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا} [النساء/83]

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan jika seandainya mereka itu menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengambil keputusan (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).”

Para ulama mufassirin menjelaskan, “Kalau suatu berita tentang perdamaian dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan Ulil Amri, tentulah Rasul dan Ulil Amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istinbath) dari berita itu.

B. Dalil dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam

  • Taat kepada penguasa adalah bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebaliknya, menentang penguasa sama dengan menentang Allah dan Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

«من أطاعني فقد أطاع الله ، ومن عصاني فقد عصى الله ، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعص الأمير فقد عصاني وإنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به فإن أمر بتقوى الله وعدل فإن له بذلك أجرا وإن قال بغيره فإن عليه منه» رواه البخاري

“Barangsiapa taat kepadaku, maka sungguh ia telah mentaati Allah. Barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka sungguh ia telah mendurhakai Allah. Barangsiapa taat kepada penguasa, maka sungguh ia telah mentaatiku. Sebaliknya barangsiapa yang durhaka kepada penguasa, maka sungguh ia telah mendurhakaiku. Sesungguhnya seorang pemimpin hanyalah sebagai perisai yang jika berperang harus di belakang komandonya dan berlindung di baliknya. Jika ia memerintahkan untuk bertaqwa dan berlaku adil, maka ia mendapat pahala karenanya. Namun bila memerintahkan sebaliknya, maka ia menanggung dosa atasnya.” (HR. Bukhari).

Hadits di atas menjelaskan bahwa diantara bukti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan kepada penguasa.

  • Ancaman terhadap orang yang menentang dan melawan penguasa.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

« مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ » رواه مسلم

“Barangsiapa keluar dari ketaatan (terhadap penguasa) dan memisahkan diri dari Jama’ah kaum muslimin lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Barangsiapa berperang di bawah bendera kefanatikan; marah atas dasar fanatik, mengajak kepada fanatik atau membela kefanatikan lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim).

Dalam hadits di atas terdapat ancaman bagi orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia mati, maka kematiannya seperti orang yang mati dalam keadaan jahiliah.

  • Wajib taat dan patuh kepada penguasa dalam kondisi apapun, kecuali dalam hal maksiat

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

« عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ» متفق عليه

“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan ta’at (kepada penguasa) terhadap perkara yang ia sukai dan ia benci, kecuali bila diperintah untuk bermaksiat. Jika ia diperintah untuk bermaksiat, maka tidak boleh mendengar dan taat (dalam maksiat tersebut)”. (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits di atas terdapat penjelasan tentang wajib dalam segala kondisi, baik suka maupun duka. Dan terdapat pula larangan taat jika penguasa menyuruh berbuat maksiat atau dosa.

  • Wajib taat dan patuh kepada penguasa dalam kondisi apapun, sekalipun mereka berlebihan dalam memakan harta negara.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

«عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ»رواه مسلم

“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat dalam waktu sulit maupun lapang, di saat bersemangat maupun dalam hal yang kurang engkau sukai dan pada waktu penguasa memonopoli harta negara di atas engkau.” (HR. Muslim).

Dalam hadits di atas terdapat perintah untuk tetap taat kepada penguasa dalam segala kondisi sekalipun ia memakan harta negara secara berlebihan.

Berkata Imam Nawawi, “Tetaplah tunduk dan patuh pada penguasa sekalipun mereka lebih mengkhususkan dirinya dengan dunia, dan tidak memberikan kepada kalian hak-hak kalian yang ada pada mereka. Hadits ini perintah untuk tetap tunduk dan patuh dalam segala kondisi. Dimana hal itu akan mempersatukan kaum muslimin, terlebih perpecahan hanya akan menyebabkan keadaan mereka rusak berantakan baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat[3].”

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

((ستكون أثرة وأمور تنكرونها))

“Kelak akan datang keadaan dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”

Mereka (para sahabat) bertanya,”Apa yang harus dilakukan oleh orang yang mendapatinya? Beliau bersabda,

((أدوا الحق الذي عليكم وسلوا الله الذي لكم)) متفق عليه

”Tunaikan kewajiban yang dibebankan atas kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Dari Junadah bin Abi Umayyah, ia berkata,

دخلنا على عبادة بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان)) متفق عليه.

“Kami masuk menemui Ubadah bin Shamit yang sedang sakit. Kamipun mendoakannya; ‘Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda’. Sampaikanlah sebuah hadits yang anda dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam semoga Allah memberi manfaat kepada Anda dengannya. Ia menuturkan, ”Dahulu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil kami agar mengambil baiat (sumpah setia) kami kepada beliau”.maka pernyataan sumpah setia yang beliau ambil dari kami adalah “agar kami mendengar dan ta’at di waktu bersemangat maupun dalam keadaan yang tidak disukai, di waktu lapang maupun sulit serta di saat penguasa memonopoli harta negara di atas kami. Dan agar tidak mencopot penguasa dari kekuasaannya kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti nyata dari agama Allah.” (HR. Bukhari Muslim).

Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang syarat-syarat yang mesti terpenuhi ketika meninggalkan ketaatan kepada penguasa:

  1. Wajibnya memiliki bukti (dalil) bahwa perbuatan tersebut dihukum kafir oleh Allah dalam agama, bukan berdasarkan kepada dalil-dalil yang samar.
  2. Wajibnya memiliki bukti bahwa penguasa telah melakukan perbuatan tersebut, bukan berdasarkan kepada isu dan opini.
  3. Perbuatan kufur tersebut dilihat dengan kasat mata oleh khalayak ramai.

Berkata Imam Nawawi,

“ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فأنكروه عليهم وقولوا بالحق حيث ما كنتم وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق”

“Makna hadits ini adalah janganlah kalian menentang penguasa dalam kekuasaan mereka. Dan jangan pula melawan mereka, kecuali kalian melihat dari mereka kemungkaran yang nyata yang kalian ketahui dari aturan-aturan Islam. Jika kalian melihat hal itu maka nasehatilah mereka dan katakan kebenaran, di manapun kalian berada. Adapun melakukan kudeta dan memerangi mereka adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin. Sekalipun mereka berbuat fasik lagi zalim. Sungguh banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang apa yang aku ungkapkan tersebut. Dan Ahlussunnah bersepakat bahwa tidak boleh menjatuhkan penguasa dengan alasan kefasikan (pelaku dosa)[4]. “

  • Dalil tentang wajibnya membela penguasa yang sah.

Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk membela penguasa yang sah. Bahkan, apabila ada seseorang yang ingin merebut kekuasaannya, maka kita diperbolehkan untuk membunuhnya.

Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Amru radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

«مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا رَقَبَةَ الآخَرِ»

“Barangsiapa membaiat seorang pemimpin lalu mengulurkan tangannya dan memberikan kecintaannya, maka hendaklah mentaatinya semampunya. Jika ada orang lain yang hendak menurunkannya, maka bunuhlah dia.”

Akupun bertanya, ”Apakah engkau mendengarnya begitu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ? Ia (Abdullah) menjawab,”Dua telingaku ini mendengar hal itu dan hatiku memahaminya. Akupun berujar,”Ini Muawiyah anak pamanmu, ia memeritahkan kami untuk berbuat sesuatu maka kami pun melakukannya”. Ia (Abdullah) menyatakan, “Taatilah ia dalam perkara ketaatan kepada Allah dan jangan taat kepadanya dalam hal bermaksiat kepada Allah.” (HR. Muslim).

  • Anjuran untuk bersabar dan tetap bersatu dalam sebuah jama’ah (kekuasaan), ketika melihat penguasa melakukan sesuatu yang dibenci dalam agama.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasullullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

«من رأى من أميره شيئًا يكرهه فليصبر، فإنه من فارق الجماعة شبرًا فمات فميتته جاهلية » رواه البخاري

”Barangsiapa yang melihat penguasanya melakukan sesuatu yang dia benci maka hendaklah dia bersabar, karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin walaupun hanya sejengkal kemudian dia mati,maka kematiannya adalah kematian jahiliyah.” (HR.Bukhari).

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

« مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً » رواه مسلم

“Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari penguasanya, maka hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa memisahkan diri sejengkal saja dari jama’ah kaum muslimin lalu ia mati, maka matinya dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim).

Dalam kedua hadits di atas, terdapat perintah untuk bersabar di atas jamaah kaum muslimin (dengan tetap bersatu di dalamnya) dan ancaman terhadap perbuatan memisahkan diri dari mereka, walaupun mereka melakukan perbuatan yang maksiat.

  • Perintah tegas tentang wajibnya taat kepada penguasa sekalipun mereka bertindak zalim dan tidak menunaikan kewajibanya terhadap rakyat.

Imam Muslim meriwayatkan hadist dalam kitab shahihnya,

قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللَّهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيهِ فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ نَعَمْ. قُلْتُ هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ قَالَ « نَعَمْ ». قُلْتُ كَيْفَ قَالَ « يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ في جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ » رواه مسلم

“Hudzaifah bin Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku berkata,”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dahulu kami berada dalam kejelekkan lalu Allah mendatangkan kebaikan maka kami berada di dalamnya. Apakah di belakang kebaikan ini terdapat lagi kejelekan ? Jawab Beliau: “Iya ada”. Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kejelekkan itu ada lagi kebaikan? Beliau menjawab, “Iya ada”. Aku bertanya lagi, “Apakah setelah setelah kebaikan tersebut ada lagi kejelekkan? Beliaupun mengiyakan. Aku menimpali, “Bagaimana bentuknya?” Beliau berkata: “Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, tidak menerapkan tuntunanku. Dan akan muncul orang-orang yang berhati setan dalam rupa manusia.” Hudzaifah berkata, “Aku bertanya: ”Apa yang harus aku lakukan Wahai Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam jika aku menemui masa itu? Beliau bersabda, “Dengar dan taati penguasa meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil. Dengar dan taatilah!” (HR. Muslim).

Beliau (Imam Muslim) juga meriwayatkan dari Salamah bin Yazid Al-Ju’fy, bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam: “Ya Nabi Allah! Bagaimana pendapatmu jika berkuasa atas kami pemimpin-pemimpin yang menuntut hak mereka dan merampas hak kami? Apa perintahmu kepada kami?” Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mengelak dari menjawabnya, sampai tiga kali ia bertanya. Maka ia ditarik oleh Asy’ats bin Qois. Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

« اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ » رواه مسلم

“Dengar dan patuhi, sesungguhnya mereka bertanggung jawab atas apa yang dibebankan kepada mereka. Dan kamu bertanggung jawab ata apa yang dibebankan kepadamu”. (HR. Muslim).

Kedua hadits di atas dengan sangat jelas menunjukkan tentang wajibnya taat kepada penguasa sekalipun mereka bertindak zalim dan tidak menunaikan kewajibanya terhadap rakyat.

  • Dilarang memerangi penguasa yang melakukan kemungkaran selama mereka melaksanakan shalat.

Dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha -istri nabi shallallahu ‘alahi wa sallam – dari nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

« إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ «لاَ مَا صَلَّوْا ». أي مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَأَنْكَرَ بِقَلْبِهِ. رواه مسلم

“Sesungguhnya akan ditugaskan untuk memimpin kalian para pemimpin lalu kalian mengetahui (kezaliman) mereka dan mengingkarinya. Barangsiapa yang membenci perkara tersebut lalu berlepas diri dan mengingkari, maka sungguh dia selamat. Akan tetapi barangsiapa yang rela dan mengikutinya (maka ia telah bermaksiat).” Mereka (para sahabat) bertanya,”Wahai Rasulullah! Bolehkah kita memerangi mereka?” Beliau bersabda, ”Tidak boleh, selama mereka melaksanakan sholat.” Maksud dari “membenci dan mengingkari” yaitu membenci dan mengingkari dengan hati. (HR. Muslim)

Dari ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam beliau bersabda,

«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ » رواه مسلم

“Pemimpin yang terbaik diantara kalian adalah orang yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian, mereka mendoakan kebaikan untuk kalian dan kalianpun mendoakan mereka. Sedangkan pemimpin yang terburuk diantara kalian adalah orang yang kalian benci dan mereka juga membenci kalian, kalian melaknat mereka, mereka juga melaknat kalian.” Ada yang bertanya, ”Wahai Rasulullah! Bolehkah kami menyingkirkan mereka dengan senjata? Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka mendirikan sholat. Apabila kalian lihat sesuatu yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya dan jangan kalian lepaskan ketaatan kalian.” (HR. Muslim).

Kedua hadits di atas menunjukkan tentang larangan memerangi penguasa yang melakukan kemungkaran, selama mereka melaksanakan shalat. Namun, bukan berarti kita meridhai perbuatan mungkar mereka, bahkan kita wajib mengingkarinya minimal dengan hati.

C. Ungkapan para ulama salaf.

Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku tidak akan memberikannya kecuali untuk pemimpin negara. Karena kebaikan seorang pemimpin membuat negeri dan rakyatnya menjadi tenteram[5].”

Imam Thahawy berkata, “Kita tidak membolehkan tindakan melawan terhadap penguasa dan para pemimpin kita, sekalipun mereka berlaku zalim. Kita tidak mendo’akan kebinasaan atas mereka. Kita tidak meninggalkan ketaatan kepada mereka. Kita meyakini bahwa ketaatan kepada mereka adalah wajib, termasuk diantara ketaatan kepada Allah. Selama mereka tidak menyuruh dengan maksiat. Kita mendo’akan agar mereka dituntun untuk berbuat baik dan diberi kesehatan[6].”

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata, “Saya berpandangan tentang wajibnya ta’at kepada para pemimpin kaum muslimin. baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim. selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat[7].”

Komentar: Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong yang mengatakan bahwa beliau menganut faham teroris atau khawarij. Dari sini juga terbukti kebohongan pihak-pihak yang mencoba mengkait-kaitkan dakwah beliau dengan teroris.

Dalil-dalil  di atas menunjukkan tentang beberapa hal penting diantaranya:

a.       Tunduk dan patuh kepada pemimpin adalah wajib dalam segala kondisi kecuali dalam hal maksiat.

b.      Ajaran Islam  melarang untuk menggulingkan penguasa bila mereka tidak mau menerima nasehat.

c.       Ajaran Islam  melarang untuk memicu fitnah atau melakukan sebab-sebab yang menimbulkan fitnah.

d.      Ajaran Islam  melarang dari segala bentuk tindakan menghasut melawan penguasa baik lisan maupun tulisan.

e.       Ajaran Islam  melarang dari pemberontakan kepada penguasa selama mereka tidak melakukan kekufuran yang nyata.

f.       Wajibnya menjaga keutuhan persatuan bangsa dan negara.

g.      Ajaran Islam  melarang dari tindakan provokasi untuk melemahkan penguasa.

h.      Ancaman keras bagi orang yang melanggar hal-hal tersebut.

D. Adab-adab dalam menasihati penguasa.

Ketaatan kepada penguasa bukan berarti kita diam terhadap kesalahan mereka. Tetapi, dalam penyampaian nasihat kepada penguasa perlu memperhatikan adab-adab yang mulia yang diajarkan Islam. Kemudian juga perlu pula dipastikan bahwa kita tidak diperbolehkan dalam agama menyembunyikan kebenaran kepada siapa pun, apalagi terhadap penguasa. Berikut kita sebutkan beberapa dalil yang menjelaskan masalah tersebut:

  • Dalil-dalil tentang wajibnya menyampaikan nasihat.

Saling menasihati merupakan sifat golongan kanan (merupakan lawan dari golongan kiri yang tempat kembalinya adalah neraka). Allah Ta`ala berfirman,

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (17) أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ [البلد/17، 18]

“Kemudian ia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.”

Allah meridhai perbuatan menasehati pemimpin. Dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu Huraira, dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

((إن الله يرضى لكم ثلاثا ويسخط لكم ثلاثا يرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا وأن تناصحوا  من ولاء الله أمركم ويسخط لكم قيل وقال وإضاعة المال وكثرة السؤال)) رواه أحمد وصححه الشيخ الأباني في “صحيح الجامع الصغير”

“Allah meridhoi untuk kalian tiga hal dan membenci tiga hal pula; Allah meridhoi bahawa kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan kalian semua berpenggang teguh dengan tali Allah, serta memberi nasihat orang yang dijadikan Allah sebagai pemimpin kalian. Dan Allah membenci; mengucapkan sesuatu yang tidak jelas kebenarannya, menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.”

  • Dalil tentang tatacara menyampaikan nasihat kepada penguasa.

Allah memerintahkan kepada  Musa dan Harun `Alaihumas salam untuk berbicara kepada Fir`aun dengan lemah lembut.

Allah Ta`ala berfirman,

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى [طه/43، 44]

“Pergilah kamu berdua (Wahai Musa dan Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut (pada Allah).”

Diantara petunjuk Nabi kita dalam menasehati pemimpin adalah dengan sembunyi-sembunyi. Ibnu Abi ‘Ashim meriwayatkan hadits dengan sanad yang shohih, dari ‘Iyadh bin Ghanim radhiallahu ‘anhu, dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

« من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ، وليأخذ بيده فإن سمع منه فذاك، وإلا أدى الذي عليه » رواه ابن أبي عاصم بسند صحيح

“Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka janganlah ia memperlihatkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia menggandeng tangannya (berbicara secara empat mata). Jika pemimpin tersebut mengindahkannya, maka itulah yang diinginkan. Namun bila tidak diindahkan, maka ia telah menunaikan kewajibannya (menyampaikan nasehat).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad yang sahih).

Dari beberapa dalil di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa adab yang sangat penting untuk diperhatikan dalam menyampaikan nasihat kepada penguasa, diantaranya:

  1. Persoalan yang diingkari bukan dalam konteks ijtihad yang menjadi hak penguasa untuk memilih dan menentukan keputusan.
  2. Menyampaikan nasihat secara halus, santun dan sopan.
  3. Menyampaikan nasihat secara empat mata, atau melalui surat.
  4. Tidak menyebarkan ‘aib penguasa, dihadapan khalayak ramai.
  5. Tidak melakukan tindakan menghasut untuk melawan penguasa ketika penguasa tidak mengindahkan nasehat.

Segala dalil yang kita kemukakan di atas bukan berarti memberikan peluang dan legalitas bagi penguasa untuk berbuat curang, zalim, dan berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Karena begitu banyak pula dalil-dalil yang menerangkan tentang ancaman azab bagi penguasa yang zalim dan tidak menjalankan hukum Allah dalam kekuasaannya. Akan tetapi Islam tidak membolehkan mengingkari kemungkaran dengan cara yang mungkar, apalagi menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
-Bersambung insya Allah

Penulis: Ustadz Dr.Ali Musri semjan Putra,M.A.
Artikel www.dzikra.com


[1] lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita “majmu’ muallafaat syeikh Muhammad bin Abdul Wahab jilid 3. baca juga Manhaj Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi Masalah at Takfiir” karangan Ahmad Ar-Rudhaiman.
[2] Tafsir As Sa’dy hal: 183.
[3] Lihat Syarah An Nawawy, 12/225.
[4] Lihat Syarah An Nawawy, 12/229.
[5] Disebutkan oleh Al Lakaa’i dalam Syarah I’tiqad Ahlussunnah, 1/176.
[6] Lihat Syarah Ath Thawiyah, 428.
[7] lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab jilid 3.



4 thoughts on “Terorisme (Seri 2)

  1. Assalamu ‘alaikum…
    Ustadz ALI Musri -Semoga Allah Memberikan Keluasan untuk menyebarkan Kebenaran- ana mau saran mohon makalah ustadz yang berjudul “Meluruskan Pemahaman yang Salah pada para Pengkultus dan Pembenci; Dalam Membela Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa Sallam-” di upload karena banyak yang belum mengerti benar tentang hal itu -termasuk ana-.
    semoga Allah merahmati kita semua.

  2. Assalalamu’alaikum ustadz,, Semoga ALLOH menjaga antum dan keluarga antum.
    Barokahullohufiikum.
    Makalah yg sangat bagus, semoga bermanfaat.

  3. Ini adalah artikel yang sangat bagus untuk memulai dengan! Sangat informatif! Bahkan jika itu politis sensitif tapi tetap saja Anda mampu mencetak ini dan menginformasikan publik. Dan untuk itu saya salut Anda! Terima kasih untuk posting ini karena ini menerangi pikiran seseorang!

    Kudos! Kekuatan lebih!

Leave a Reply

Your email address will not be published.