Sifat Al ‘Uluw Bagi Allah
Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra,MA
Dengan memanjatkan puji dan syukur pada Allah Yang Maha Tinggi di atas segala makhluk-Nya. Kemudian ucapan Selawat dan salam buat Nabi kita yang mulia Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wa Sallam. Yang telah mi’raj (naik) menghadap Allah dalam rangka menjeput perintah shalat wajib yang lima waktu.
Para pembaca yang budiman! Topik pembahasan kita pada kesempatan ini adalah tentang sifat ‘uluw bagi Allah. Sebagai lanjutan dari bahasan tentang sifat-sifat Allah pada edisi-edisi yang lalu.
Dianatara pokok-pokok keyakinan Ahlusunnah yang urgen adalah mengimani bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas seluruh makhluk-Nya. Mengimani sifat ‘uluw adalah bagian dari hal-hal yang berhubungan dengan iman kepada Allah. Karena Allah Maha Sempurna dalam segala sifat-Nya, tidak satupun makhluk yang menyerupai Allah dalam kesempurnaan terseut. Sebagaimana telah kita jelaskan pada edisi-edisi yang lalu tentang kaedah-kaedah dalam mengimani sifat-sifat Allah [1. lihat edisi 89, 90, 92, 93, 94 th ke 8-9/2009].
Dalil tentang sifat tersebut sangat banyak sekali baik dalam Al Qur’an maupun dalam kitab-kitab sunnah. Demikian pula halnya perkataan para ulama salaf dari berbagai bidang kedisiplinan ilmu Islam. Terlebih khusus para ulama yang menulis tentang aqidah Ahlussunnah, mereka tidak pernah melewatkan pembahasan ini. Masalah ini adalah benang merah yang membedakan antara aqidah Ahlussunnah dengan aqidah Ahlul kalam dan aqidah Ahli filsafat.
Berikut kita sebutkan diantara para ulama yang membahas masalah ini dalam kitab-kitab mereka yang berbicara tentang pokok-poko aqidah Ahlussunnah:
- Imam Ahmad bin Hambal wafat th (241 H) dalam kitabnya “Ar Raddu ‘ala Al Jahmiyah.
- Imam Daarimy wafat th (280 H) dalam dua kitabnya; yang pertama judulnya: “Ar Raddu ‘ala al Jahmiyah”, yang kedua judulnya: “Naqdhu Daarimy ‘ala Marrisy“.
- Imam Ibnu Abi ‘Ashim wafat (287 H) dalam kitabnya “As Sunnah”.
- Abdullah bin Ahmad bin Hambal wafat th (290 H) dalam kitanya “As Sunnah”.
- Imam Ibnu Khuzaimah wafat th (311 H) dalam kitabnya yang berjudul “At Tauhid“.
- Imam Khalaal wafat th (311H) dalam kitabnya “As Sunnah”.
- Imam Abu Ja’far Thahaawy wafat (321 H) dalam kitabnya yang masyhur “Aqidah Thahawiyah”.
- Imam Abu Hasan Al Asy’ary wafat th (324 H) dalam dua kitabnya; yang pertama berjudul “Al Ibaanah ‘an Ushuul Diyanah, yang kedua berjudul “Rasalah Ila Ahli Tsaghar”.
- Imam Al Ajurry wafat th (360 H) dalam kitabnya “Asy Syari’ah”.
- Imam Ibnu Baththah wafat th (387 H) dalam kitabnya “Al Ibaanah Al Kubro“.
- Imam Ibnu Mandah wafat th (395 H) dalam dua kitabnya; yang pertama berjudul “At Tauhid” dan yang kedua berjudul: “Ar Raddu ‘ala al Jahmiyah”.
- Imam Ibnu Abi Zamaniin wafat th (399 H) dalam kitabnya “Ushuul Sunnah”.
- Imam Al Laa lakaa’i wafat th (418 H) dalam kitabnya “Syarah I’tiqaat Ahlussunnah“.
- Imam Baihaqy wafat th (458 H) dalam kitabnya yang berjudul “Al I’tiqaad”.
- Imam Abu Ali Hasan bin Ahmad Al Banna wafat th (471 H) dalam kitabnya: “Al Mukhtaar Fi Ushul Sunnah“.
- Imam Ismail Al Ashfahaany wafat th (545 H) dalam kitabnya “Al Hujjah fi Bayaan Al Mahajjah“.
- Imam Ibnu Qudaamah Al Maqdisy wafat th (620 H) dalam kitabnya: “Lum’atul I’tiqad“.
Bahkan sebahagian ulama ada yang membahas masalah ini secara khusus dalam kitab tersendiri, diantara mereka tersebut adalah:
- Imam Ibnu Qudaamah Al Maqdisy wafat th (620 H) mengarang kitab “Itsbaat sifat Al ‘Uluw“.
- Imam Ibnu Thahir Al Qaisaraany wafat th (507 H) mengarang kitab “Al ‘Uluw wan Nuzuul“.
- Imam Ibnu Qayyim al jauziyah wafat th (751 H) mengarang kitab “Ijtimaa’ Juyuusy Islamiyah ‘ala ghazwi Mu’athilah“.
- Imam Dzahaby wafat th (748 H) mengarang dua kitab dalam masalah ini. Yang pertama dengan judul Al ‘Uluw dan yang kedua dengan judul Al ‘Arsy.
Sengaja penulis menyebutkan tahun wafat dari para ulama tersebut untuk membuktikan kedustaan orang yang mengatakan bahwa penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah tidak dikenal oleh para ulama salaf. Bahkan ada yang mengatakan hal ini adalah hasil pemikiran Ibnu Taimiyah wafat th (728 H) dan Muhammad Bin Abdulwahab wafat th (1206 H). Ini membuktikan bahwa mereka tidak pernah mengenal buku-buku aqidah karangan para ulama terkemuka dikalangan umat ini, apa lagi untuk membacanya. Atau mereka mengenal dan membacanya akan tetapi mereka taklid buta kepada para guru mereka serta takut terbongkarnya kesesatan mereka selama ini, yang pada akhirnya akan membuat para pengikut mereka tidak simpatik lagi pada mereka. Atau para pengikut mereka akan lari meninggalkan mereka ketika terbuktinya kelemahan ilmu mereka. Hal tersebut akan mengurangi pendapatan perkapita mereka pertahun.
Jika kita perhatikan dengan seksama buku-buku aqidah yang ditulis oleh ulama salaf, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah adalah masalah yang urgen dalam agama ini. Hal ini dibuktikan betapa banyaknya para ulama yang menjelaskan tentang masalah tersebut dalam kitab-kitab mereka. Terlebih-lebih lagi jika kita membaca kitab-kitab tafsir dan syarah kitab-kitab hadist terkemuka yang dikarang oleh para ulama kita.
Bahsan ini akan kita bagi menjadi lima bagian:
Bagian pertama: Dalil-dalil dari ayat Al Qur’an yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian kedua: Dalil-dalil dari Sunnah (hadits-hadits) yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian ketiga: Perkataan Para sahabat, Tabi’iin dan Tabi’ Tabi’iin serta para ulama dari masa ke masa yang yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian keempat: Dalil-dalil akal dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian kelima: Jawaban terhadap syubuhat (argumentasi) para penetang aqidah Ahlussunnah dalam penetapan sifat ‘Uluw bagi Allah.
Bagian Pertama
Dalil-dalil dari ayat Al Qur’an yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah
Dalam bagian pertma bahasan ini kita akan menyebutkan sebahagian ayat-ayat Al Qur’an yang menegaskan bahwa Allah bersifat ‘Uluw (Maha Tinggi) di atas segala makhluk. Suatau hal yang mustahil untuk meneybutkan seluruh ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat ‘Uluw. Disamping keterbatasan waktu juga karena ayat-ayat yang berkenaan sifat ‘Uluw jumlahnya sangat banyak mencapai ratusan ayat. Akan tetapi kita akan menyebutkan bentuk-bentuk redaksi Al Qur’an dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah. Pada setiap macam dari redaksi tersebut kita sebutkan satu ayat atau sampai tiga ayat saja paling banyak jika hal tersebut diperlukan.
Pada berikut ini kita sebutkan bentuk-bentuk redaksi Al Qur’an dalam menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah:
Redaksi pertama: Bahwa Allah mengangkat sebagian makhluk ke arah-Nya di atas. Hal ini Allah sebutkan dengan berulang kali dengan sinonim kata yang menunjuk makna yang sama. Yaitu kata-kata: “Ar Raf’u”, “Ash Shu’ud”, dan “Al ‘Uruuj.
-
Menggunakan kata “Ar Raf’u”, sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
{إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ} [آل عمران/55]
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu tertidur dan mengangkat kamu kepada-Ku”.
Dan firman Allah:
{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ} [النساء/158]
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya”.
Dalam dua ayat di atas Allah menegaskan bahwa Allah menyelamatkan nabi Isa u dari pembunahan dengan mengakat nabi Isa ‘Alaihis Salam kepada-Nya[2. lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/47]. Ini menunjukkan bahwa Allah itu berada di arah atas, bukan di arah bawah. Karena kata-kata mengangkat dalam seleuruh bahasa digunakan untuk menunjukkan ke arah atas.
-
Menggunakan kata “Ash Shu’ud” sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ [فاطر/10]
“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya”.
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa perkataan baik dan amal sholeh naik kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa Allah itu berada di arah atas, bukan di arah bawah. Karena kata-kata naik dalam seleuruh bahasa digunakan untuk menunjukkan ke arah atas.
-
Mengunakan kata “Al ‘Uruuj” sebagaimana terdapat dalam firman Allah:
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ [المعارج/4]
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan”.
Dan firman Allah:
{يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ} [السجدة/5]
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya”.
Demikian pula dalam dua ayat ini Allah menerangkan bahwa para malaikat dan segala urusan naik kepada Allah pada hari kiamat kelak[3. lihat tafsir Baghawy: 6/300]. Dua ayat ini sama dengan ayat sebelumnya menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka karena itu dipergunakan kata-kata naik dalam ayat-ayat tersebut.
Redaksi kedua: Menggunakan kata “Al Fauq” dalam menyatakan bahwa para malaikat takut pada Allah yang berada di atas mereka, sebagaimana firman Allah:
{يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ} [النحل/50]
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)”.
Ayat ini menerangkan bahwa para malaikat yang berada di langit takut kepada Robb mereka yang berada diatas mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di arah yang lebih tinggi dari para malaikat tersebut. Karena kata-kata di atas dalam semua bahasa penggunaannya untuk menunjukkan arah yang tinggi.
Redaksi ketiga: Menggunakan kata Istiwaa’ yang digabung dengan huruf ‘alaa yang artinya menunjukan makna “atas”, hal ini berulang kali Allah katakan dalam Al Qur’an, diantaranya sebagaimana firman Allah berikut ini:
{الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5]
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang beristiwaa’ di atas ‘Arsy”.
Dan firman Allah:
{ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ}
“Lalu Dia beristiwaa’ di atas ‘Arsy”.
Ayat yang serupa terdapat enam kali dalam Al Qur’an, maka keseluruhan ayat istiwaa’ yang digabung dengan huruf ‘alaa ada tujuh ayat dalam Al Qur’an, lihat surat-surat berikut ini;
1. surat Al A’raaf, ayat: 54.
2. surat Yunus, ayat: 3.
3. surat Ar Ra’d, ayat: 2.
4. surat Al Furqan, ayat: 59.
5. surat As Sajdah, ayat: 4.
6. surat Al Hadiid, ayat: 4.
Istiwaa’ dalam bahasa arab mengandung beberapa makna, bila kalimat istiwaa’ bergabung dengan huruf ‘alla maka maknanya menunjukkan di atas[4. lihat Lisanul Arab: 14/408].
‘Arasy adalah makhluk Allah yang paling tinggi, tidak ada lagi makhluk yang lebih tinggi setelah ‘Arasy. Dan Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, maka tidak makhluk yang sama atau lebih tinggi dari Allah. Istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy, tidak berarti bahwa Allah bersentuhan dengan ‘Arasy tersebut. Sebab Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluknya. sebagaimana tidak mesti setiap sesuatu yang berada di atas yang lainnya harus dalam bentuk saling bersentuhan. Sebagaimana halnya keberadaan langit di atas bumi tidak saling bersentuhan antara keduanya. Apabila hal itu mungkin pada makhluk, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi berdiri sendiri tidak butuh sedikitpun kepada makhluk. Ia tidak butuh kepada ‘Arasy untuk menahan atau menopang-Nya. Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy bukan berarti Allah butuh kepada ‘Arasy, akan tetapi jusru sebaliknya, dimana ‘Arasy itu sendiri keberadaan nya bergantung kepada kekuasaan Allah.
Redaksi keempat: Bahwasanya kitab-kitab suci diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana firman Allah:
{آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ} [البقرة/285]
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman”.
Dan firman Allah:
{تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيم} [الزمر/1]
“Kitab (Al Quran ini) diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Juga firman Allah:
{تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الحاقة/43]
“Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”.
Ayat yang semakna dengan ayat-ayat di atas amat banyak dalam Al Qur’an, diantaranya lihat:
- surat Al Maaidah, ayat: 66 & 67.
- surat Al A’raaf, ayat: 3.
- surat Ar Ra’du, ayat: 1 & 19.
- surat Saba’, ayat: 6.
- surat Az Zumar, ayat: 55.
- surat as sajdah, ayat 2.
- surat Ghafir (Al Mu’min), ayat: 2.
- surat Fushshilat, ayat: 2 & 42.
- surat Al jatsiyah, ayat: 2.
- surat Al Waaqi’qh, ayat: 80.
Ayat yang menyatakan bahwa Al Qur’an dan kitab-kitab suci lainya diturunkan dari Allah sangat banyak sekali jumlahnya. hal ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Kalau seandainya Allah tidak berada di atas, tentulah kitab-kitab suci tersebut tidak bisa dikatakan turun dari Allah.
Sebab kata-kata turun dalam seluruh bahasa penggunaannya untuk menunjukkan dari arah yang tinggi kearah yang rendah. Jika Allah bukan di atas tentu tidak tepat bila disebut bahwa Al Qu’an diturun dari sisi Allah.
Redaksi keenam: Allah menggunakan kata-kata di langit untuk menyatakan tentang diri-Nya. Sebagaiamana firman Allah berikut ini:
{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا [الملك/16، 17]
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu”.
Kata langit dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, jika langit diartikan dengan langit yang asli maka huruf Fii dalam ayat di atas bermakna ‘alla (di atas).
Karena dalam bahasa Arab antara sesama huruf Jaar boleh saling bergantian dalam penggunaannya, sebagaimana dalam firman Allah:
{فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ } [آل عمران/137]
“Maka berjalanlah kamu di atas bumi”. Ayat ini tidak mungkin diartikan berjalanlah kamu dalam bumi. Karena itu huruf Fii dalam ayat tersebut diartikan dengan huruf ‘alla[5. lihat kitab “Asmaa’ wash shifaat” / Imam Baihaqy: 2/236].
Namun bila huruf Fii tetap pada maknannya yang asli (pada), maka langit dalam ayat di atas bermakna arah yang tinggi. Karena dalam bahasa Arab stiap arah yang tinggi boleh disebut langit[6. lihat tafsir Ibnu ‘Athiyah: 1/92].
Sebagaimana dalam firman Allah:
{أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ} [إبراهيم/24]
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”.
Makna ayat di atas ialah bahwa cabang pohon tesebut menjulang tinggi keatas langit, tetapi bukan berarti bahwa cabang pohon itu menyentuh dan membelah langit.
Maksud dari ungkapan bahwa Allah berada di atas langit bukan berarti bahwa langit bersentuhan dengan Allah. Sebagaimana ungkapan kita bahwa langit di atas bumi bukan berarti bahwa langit menepel ke bumi, akan tetapi keduanya memiliki jarak ratusan juta ribu mil. Jika demikian halnya maka tidak ada kontradiksi antara ayat yang menyebut Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy dengan ayat yang menyebutkan Allah di atas langit. Karena ‘Arasy berada di atas langit sekalipun jarak anatara langit dan ‘Arasy sangat jauh sekali.
Redaksi ketujuh: Allah menyebutkan beberapa nama-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Mha Tinggi secara mutlak, baik dari segi kedudukan, kekuasaan maupun zat. Dianatara nama-nama Allah yang menunjukkan akan kemahatinggian Allah:
A. Nama Allah: “Al ‘Aliyyu” (العلي). Sebagaimana firman Allah:
{إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا} [النساء/34]
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Dan firman Allah:
{وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ } [البقرة/255]
“Dan Allah itu Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Nama ini terulang sekitar delapan kali dalam Al Qur’an, disamping dua ayat di atas lihat pula ayat-ayat berikut ini:
- surat Al Hajj, aya: 62.
- surat Luqman, ayat: 30.
- surat Saba’, ayat: 23.
- surat Al Mu’min, ayat: 12.
- surat Asy Syuraa, ayat: 4 & 51.
B. Nama Allah: “Al A’laa” (الأعلى). Sebagaimana dalam firman Allah:
{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى/1]
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi”.
Nama ini terulang dua kali dalam Al Qur’an, disamping ayat di atas lihat pula surat “Al lail”, ayat: 20.
C. Nama Allah: “Al Muta’aal” (المتعال). Sebagaimana dalam firman Allah:
{عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ} [الرعد/9]
“Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi”.
Ayat-ayat di atas dengan tegas menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi dalam segala segi baik dari segi kekuasaan, kemulian maupun zat. Barangsiapa yang mengingkari tentang keMahatinggian Allah dari segi zat, maka sesungguhnya ia telah membatasi kesempurnaan makna sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama Allah tersebut.
Kesimpulan:
Berdasarkan ayat-ayat yang kita sebutkan di atas maka tidak ada lagi keraguan bagi seorang muslim untuk mengimani bahwa Allah Maha Tinggi secara mutlak di atas seluruh makhluknya. Maka oleh sebab itu ketika mereka berdo’a mata hatinya mengarah ke arah atas langit, karena Allah berada di atas mereka. Makhluk yang paling tinggi adalah ‘Arasy dan Allah berada jauh lebih tinggi dari ‘Arasy, tiada di atas kecuali hanya Allah semata. Tidak ada zat makhluk yang bersentuhan dengan Zat Allah dan tidak ada pula Zat Allah yang bercampur dengan zat makhluk. Akan tetapi Allah bersama makhluk-Nya dengan sifat-sifat rububiyahnya bukan dengan zat-Nya. Dianatara sifat-sifat rububiyah seperti sifat ilmu, penglihatan dan pendengaran.
Berkata Imam Ibnu Baththah: “Telah bersepakat kaum muslimun dari kalangan sahabat, tabi’iin dan seluruh para ulama dari orang-orang yang beriman bahwa Allah di atas ‘Arasy, di atas seluruh langit, tidak bersentuhan dengan makhluk-Nya, ilmu-Nya meliputi seluruh makhluk-Nya. Tidaklah mengikari hal itu kecuali orang yang menganut paham hululiyah (manungaling). Mereka adalah kelompok yang telah sesat hatinya dan mereka telah ditipu setan, lalu mereka meninggalkan agama. Mereka mengatakan: bahwa Allah berada disetiap tempat dengan zat-Nya…”[7. lihat Al Ibaanah/ Ibnu Bathathah: 3/136].
,,,Semoga Allah menurunkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua,,,
Assalamu'alaykum warohmatullah
Semoga Anda Senantiasa dalam Lindungan Allah,
ana minta telah meng Copy Tulisan Antum ya Ustad,,,
Jazakallahu khairan