Memahami Nama-nama Allah yang Indah (02)

Kelima: Berdoa dan beribadah kepada Allah dengan nama-nama Allah tersebut.

Untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah adalah dengan memahami makna dari nama-mana Allah tersebut. Bahkan ilmu ini adalah ilmu yang sangat agung untuk dipelajari. Sehingga dalam beribadah kepada Allah benar-benar kita seakan melihat Allah. Sekaligus menimbulkan nilai khusyuk dalam beribadah, karena saat beribadah seolah-olah kita melihat Allah. Atau kita merasa sedang dilihat Allah.

Setelah memperhatikan hal yang tersebut di atas semakin jelaslah bagi kita betapa pentingnnya untuk menjelaskan dan mempelajari makna dari nama-nama Allah tersebut. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam telah menganjurkan pula dalam sabdanya,

عن أبي هريرة رضي الله عنه  أن رسول الله صلى الله عليه وسلم  قال (( إن لله تسعة وتسعين اسما مائة إلا واحدا من أحصاها دخل الجنة )). متفق عليه

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki senbilan puluh senbilan nama, seratus kecuali satu, barangsiapa yang menghafalnya akan masuk surga.” (HR. Bukhari & Muslim).

Kata-kata menghafalnya dijelaskan oleh para ulama, memiliki beberapa tingkatan:

  • Menghafalnya dengan lisan.

    Artinya kita menghafal sebanyak sembilan puluh sembilan dari nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Quran maupun Sunnah.

      • Memahami makna yang terkandung dalam nama-mana Allah tersebut.
        • Mengaplikasikan makna tersebut dalam doa dan ibadah kita. Atau dengan kata lain menghafalnya dalam bentuk amalan[1].

          Keenam: Nama-nama Allah tidak diketahui batasan jumlahnya.

          Hadits di atas tidaklah menunjukkan tentang batasan jumlah keseluruhan nama-nama Allah, tetapi membatasi tentang jumlah untuk memperoleh janjian yang terdapat dalam hadits tersebut yaitu masuk surga.

          Karena dijelaskan dalam hadist lain bahwa jumlah keseluruhan nama Allah tidak dapat diketahui sekalipun oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam.

          Sebagaimana yang terdapat dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

          ((أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو علمته أحدا من خلقك أو أنزلته في كتابك أو استأثرت به في علم الغيب عندك ((رواه أحمد وغيره.

          Aku bermohon dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama denganya diri-Mu, atau Engkau beritahu akannya salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu di alam ghaib. (HR. Ahmad dan lain-lain, hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Syeikh Albani)[2].

          Dalam hadits ini menyebutkan tiga bagian dari nama-nama Allah;

          • Bagian pertama: nama yang Allah beritahu sebahagian dari makhluk-Nya, baik dari kalangan malaikat atau lainnya, tetapi tidak diturunkan dalam kitab suci Allah.
          • Bagian kedua: nama yang Allah turunkan dalam kitab suci-Nya.
          • Bagian ketiga: nama yang Allah sembunyikan di sisi-Nya di alam gaib.

          Maka nama-nama Allah yang dapat kita ketahui hanyalah yang terdapat dalam kitab Al-Quran dan hadits-hadits yang shahih. Menurut pendapat ulama yang telah melakukan penelitian dalam hal ini menyatakan bahwa nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shohih lebih jumlahnya dari sembilan puluh sembilan[3].

          Lalu bagaimana memahami kedua hadits di atas? Kedua hadits tersebut tidak saling bertentangan. Karena hal tersebut bisa dipahami dalam contoh berikut: Jika seseorang mengatakan, ‘Saya memiliki sembilan puluh sembilan ribu untuk saya infakkan.’ Tentu tidak akan dipahami bahwa ia tidak memiliki uang yang lain. Boleh jadi ia memiliki uang dua ratus ribu, tapi yang diinfaqkannya berjumlah sembilan puluh sembilan ribu rupiah. Dengan demikian kedua hadits tersebut sangat mudah untuk digabungkan pemahamannya. Yang penting hafal sembilan puluh sembilan nama Allah sebagai tebusan untuk mendapatkan surga. Nama-nama yang dihafal mungkin saja berbeda lafaznya (konteksnya) tetapi jumlahnya sama. Karena nama-nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.

          Ketujuh: Kesamaan dalam nama tidak mesti sama pula dalam bentuk dan hakikat.

          Walaupun ada kesamaan nama dari segi lafaz antara nama makhluk dengan nama Allah, tetapi hakikat makna dari masing-masing nama tersebut sangat jauh berbeda sebagaimana perbedaan antara Allah itu sendiri dengan makhluk-Nya. Kesamaan di sini hanya dalam bentuk nama atau lafaz kata saja tidak dalam segi makna secara keseluruhan. Sekalipun ada kesamaan dalam bentuk lafaz atau nama, namun dalam segi hakikat makna dari lafaz dan nama tersebut secara keseluruhan tidak sama.

          Sebagaimana diantara nama Allah (Al-Hayyu) yang artinya bersifat hidup, demikian pula makhluk juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Allah tidak butuh pada makan dan minum adapun hidup makhluk butuh makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya. Hidup Allah tidak diawali dengan ketiadaan (‘adam) dan tidak pula diakhiri dengan kematian (al-fanaa’). Adapun hidup makhluk di awali dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian.

          Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

          عن ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم  كان يقول: (( أعوذ بعزتك الذي لا إله إلا أنت الذي لا يموت والجن والإنس يموتون)) متفق عليه.

          Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berdoa, “Aku berlindung dengan keperkasaan Engkau. Yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Zat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

          Dalam sabda yang lain beliau katakan,

          (اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ (رواه مسلم.

          “Ya Allah Engkaulah yang pertama, tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan Engkaulah yang terakhir tiada sesuatupun setelah Engkau.” (HR. Muslim).

          Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh dengan berbagai kekurangan.

          Allah adalah Zat Yang Mahahidup Sempurna, sebagaimana Allah katakan dalam firman-Nya,

          اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ :البقر. ٢٥٥

          “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Mahahidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak pernah ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur.”

          Demikianlah kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama Allah yang mulia. Kita tidak boleh menyerupakan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama-Nya mulia dengan sifat-sifat makhluk meskipun nama Allah ada kesamaan dari segi lafatz nama. Sebaliknya kita juga tidak boleh mengingkari nama dan sifat-sifat Allah, yang Allah tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits beliau, meskipun nama atau sifat tersebut terdapat pada makhluk.

          Dengan berlandaskan pada perkataan Allah,

          لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.  الشورى: ١١

          “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

          Dalam ayat di atas ditegaskan, bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Sebagian orang memahami ayat tersebut, bahwa Allah tidak memilki sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari ayat tersebut. Di mana Allah menyatakan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah katakan dalan firman-Nya,

          إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. الإنسان: ٢

          “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”

          Dari sini dapat kita pahami bahwa Allah memilki sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada sebagian makhluk, namun maknanya tidak sama dengan kualitas makna sifat-sifat Allah. Kalau seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafi-kan sifat tentu konteksnya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti langsung Allah nafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi yang dinafi-kan adalah kesamaan hakikat dari makna sifat bukan sifat. Sekalipun dalam penamaan sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.

          Hal ini dapat terima oleh akal, fakta dan agama. Bahwa sesuatu yang sama dalam penyebutan nama, namun kualitas dan kuantitas bisa berbeda. Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak sekali sama nama, namun berbeda bentuk dan kualitasnya.

          Sebagai contoh manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki sifat melihat. Tapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing tidak sama. Sebab manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa cahaya. Adapun kucing bisa berjalan di malam hari meskipun tanpa cahaya. Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kualitas makna, sekalipun sama dalam segi penamaan yaitu penglihatan.  Maka, kepastian perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk jauh lebih pasti, meskipun sama dari segi lafaz nama. Yang membedakan makna adalah kemana sifat tersebut disandarkan, maka sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat zat di mana ia disandarkan (digabungkan). Maka, jangan dipahami ketika menyebut tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita tidak memahami tentang sifat akan berbeda sesuai dengan zat masing-masing sifat tersebut. Bahkan, pada zat yang sama sifat bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu, namanya tetap disebut pendengaran. Bahkan, sifat bisa berubah-ubah kualitas dan frekuwensinya pada satu zat, ketika seseorang berumur lima tahun pendengarannya tidak sama ketika telah berumur lima puluh tahun.

          Demikianlah halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, di mana Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan kegungan-Nya. Kita memahami bahwa adanya perbedaan antara sifat yang disandarkan kepada Allah dengan sifat yang disandarkan kepada makhluk meskipun ada kesamaan dalam segi lafaz penamaannya.

          Kedelapan : Mengetahui penyimpangan-penyimpangan (إلحاد) yang terjadi di dalam memahami nama-nama Allah, agar tidak terjatuh di dalamnya.

          Penyimpangan yang terjadi dalam memahami nama-nama Allah ada beberapa macam, yaitu :

            • Menamai patung-patung berhala dengan nama-nama yang diambil dari nama-nama Allah, seperti perbuatan orang-orang musyrikiin yang memberi nama patung mereka dengan Al-Lata ( اللات  ) yang berasal dari nama Allah Al-Ilah ( الإله ), begitu juga Al-‘Uzza bersal dari nama Allah Al-‘Aziz (  العزيز). Ini adalah suatu penyimpangan yang nyata, karena meraka memalingkan nama-nama Allah untuk nama sesembahan palsu mereka.
                • Menamai Allah dengan nama-nama yang tidak pantas bagi-Nya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang nashrani yang menyebut-Nya dengan nama “Tuhan Bapak“, dan nama-nama lainnya yang tidak pantas untuk diberikan kepada Alllah.
                  • Mensifati Allah dengan sifat-sifat yang hina dan tercela yang Allah tersucikan dari sifat-sifat tersebut, Seperti perkataan orang-orang yahudi yang hina bahwasanya Allah itu fakir, mereka juga mengatakan bahwa Allah beristirahat setelah menciptakan makhluknya, dan perkataan mereka pula bahwa tangan Allah terbelenggu, dan perkataan-perkataan hina lainnya yang merupakan tindakan penyimpangan terhadap nama-nama Allah.
                      • Mengingkari sifat-sifat yang terkandung di dalam nama-nama Allah, Seperti yang dilakukan kelompok Jahmiyyah yang mengatakan bahwa nama-nama Allah hanyalah sebuah nama dan tidak terkandung di dalamnya sifat-sifat. Oleh sebab itu mereka menetepkan bahwa Allah mempunyai nama (الحي ) yang Maha Hidup, tapi tidak ada kehidupan bagi-Nya, ( السميع ) yang Maha Mendengar tapi tidak ada pendengaran bagi-Nya, ( البصير ) Maha Melihat, tapi tidak ada penglihatan bagi-Nya, dan seterusnya. Maka ini adalah termasuk penyimpangan nama-nama Allah yang paling besar menurut tinjauan akal, syariat, bahasa, dan fitrah. Maka apa yang mereka lakukan ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah seperti yang dilakukan orang-orang musyrikin hanya yang berbeda adalah kalau orang-orang musyrikiin memberikan nama-nama Allah untuk patung-patung mereka, adapun orang jahmiyyah mereka mengingkari sifat-sifat yang dikandung nama-nama Allah, dan memalingkannya dari makna sesungguhnya. Adapun orang-orang Jahmiyyah dan yang mengikuti pemikiran mereka, maka penyimpangan mereka bertingkat-tingkat, sebagian mereka ada yang ghuluw di dalam kesesatannya, sebagian lain mutawasithun ( pertengahan ), sebagian yang lain lebih ringan kesesatannya, namun semuanya itu tetaplah merupakan penyimpangan yang sesat, karena barang siapa yang mengingkari apa-apa yang telah Allah sifatkan untuk dirinya dan yang disifati oleh Rasul-Nya untukNya adalah sebuah ilhad ( penyimpangan ) meskipun penyimpangannya itu banyak atau sedikit.
                          • Penyimpangan kelompok Musyabbihah yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluknya -maha suci Allah dari apa yang mereka katakan-. Penyelewengan mereka ini merupakan lawan dari penyelewengan kelompok jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah, mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah namun menyerupakannya dengan sifat makhluknya, namun keduanya adalah bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah walaupun berbeda caranya.

                            Adapun pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pewarisnya serta orang-orang yang berpegang teguh di atas sunnahnya mereka berlepas diri dari apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang telah Allah sifati untuk diriNya, dan juga yang telah disifati oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mengingkari satu sifat pun dan tidak pula memalingkannya dari makna yang sebenarnya, dan tidak pula menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Maka penetapan mereka terhadap sifat-sifat Allah terhindar dan bebas dari menyerupakannya dengan sifat makhluk-Nya, dan pensucian mereka pada sifat-sifat Allah bebas dari pengingkaran kepadanya, tidak seperti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluknya sampai seakan-akan mereka menyembah sebuah patung, dan tidak pula seperti orang yang mengingkari sifat Allah sampai seakan-akan mereka menyembah sesuatu yang tidak ada.[4]

                            Demikianlah pembahasan kita kali ini, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua sehingga kita dapat memahai nama-namaNya dengan benar dan terhindar dari penyimpangan orang-orang yang menyimpang. Wallahu a’lam.

                            Penulis : Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
                            Artikel www.dzikra.com


                            [1] lihat: “Faidah al-Jaliilah fi Qawa’id al-Husnaa min Badai’ Al-Fawaidtahqiq Syeikh Abdur Razzaq al Badr.

                            [2] lihat: “Syifaa’ul ‘Aliil” hal 274 dan “Silsilah Ash-Shahihah” 1/336.

                            [3] lihat: “Al-Fatawa al-Kubra“: 1/217, “Majmu’ al Fatwa“: 22/482, “Mausuu’ah Asma was Sifat“: 1/18-25.

                            [4]. lihat: “Faidah al-Jaliilah fi Qawa’id al-Husnaa min Badai’ Al-Fawaidtahqiq Syeikh Abdur Razzaq al Badr.