Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, selawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.
Para pembaca yang dirahmati Allah, pada kesempatan kali ini pembahasan kita seputar kaidah memahami tauhid asmaa’ was sifat. Karena salah satu tujuan diutusnya para rasul dan nabi adalah untuk mengenalkan manusia kepada Allah melalui nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu tidak sedikit ayat-ayat Alquran maupun hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat Allah yang mulia.
Memahami nama dan sifat-sifat Allah memilki kedudukan yang sangat penting dalam meningkatkan keimanan seorang mukmin kepada Allah. Dengan memahami nama dan sifat-sifat Allah seorang mukmin akan mencapai tingkat ihsan dalam beribadah kepada Allah. Bila mana nama dan sifat-sifat Allah tersebut dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah yang dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah yang berdasarkan kepada Alquran dan hadits-hadits shahih. Serta selamat dari dua bahaya; bahaya Ta’thiil (mengingkari sifat-sifat Allah) dan bahaya Tasybiih (menyerupakan Allah dengan makhluk).
Berkata Ibnul Qayyim, “Maka tidak diragukan lagi bahwa berilmu tentang nama dan sifat-sifat Allah serta perbuatan-Nya adalah seagung-agung ilmu dan semulia-mulianya ilmu. Perbandingannya dengan ilmu-ilmu lain sebagaimana perbandingan antara Allah itu sendiri dengan yang lain-Nya”[1].
Pada berikut ini akan kita jelaskan tentang kaidah-kaidah umum dalam memahami tauhid asmaa’ was sifat. Sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka.[2]
Kaidah pertama, Beriman (mempercayai) segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran maupun dalam sunnah (hadits-hdits shahih).
Banyak sekali ayat maupun hadits-hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mewajibkan kita untuk beriman secara mutlak dengan segala isi Alquran. Baik yang berbentuk hukum-hukum, maupun yang berbentuk khabar (berita); tentang hal yang telah berlalu, maupun yang akan datang, dan berita tentang nama dan sifat-sifat Allah.
Sebagiamana Allah peringatkan dalam firman-Nya,
{أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ} [البقرة/85]
“Apakah kalian beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian diantara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
Maka kita tidak boleh memilah-milah dalam beriman kepada isi Alquran. Seperti beriman dengan ayat-ayat menerangkan tentang hukum saja. Tetapi tidak beriman dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang nama dan sifat-sifat Allah, atau merubah dan mentakwil maksud ayat-ayat tersebut. Maka kita tidak boleh membeda-bedakan anatara isi Alquran, antara ayat-ayat hukum dengan ayat-ayat yang menerangkan sifat-sifat Allah. Semua isi Alquran wajib kita imani dan kita yakini secara utuh, tanpa membeda-bedakan sedikitpun. Jika kita membeda-bedakan antara ayat yang berbicara tentang hukum dengan ayat yang menerangkan tentang nama dan sifat-sifat Allah. Maka kita telah terjerumus kedalam ancaman kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Demikian pula halnya tentang wajibnya beriman dengan segala apa yang disampaikan Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist-hadits beliau. Baik yang berbentuk hukum-hukum, maupun yang berbentuk khabar (berita); tentang hal yang telah berlalu, maupun yang akan datang, dan berita tentang nama dan sifat-sifat Allah.
Sebagiamana Allah tegaskan dalam firman-Nya,
{إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (150) أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا} [النساء/150، 151]
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman dengan sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (antara iman dan kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.”
Maka kita tidak boleh membeda-bedakan dalam beriman, antara Alquran dan hadits-hadits Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti mempercayai nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran saja, tetapi tidak mempercayai nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam hadits-hadits Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan keduanya adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya,
{وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى} [النجم/3، 4]
“Dan tiadalah apa yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Tiadalah yang diucapkanya itu melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya”).
{وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} [الحشر/7]
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras siksaan-Nya.”
Demikian pula Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam sabda beliau,
عن المقدام بن معد يكرب عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه قال ” ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه لا يوشك رجل شبعان على أريكته ( السرير ) يقول عليكم بهذا القرآن)) رواه أبو داود وصححه الشيخ الألباني
“Dari Miqdam bin Ma’dikarib, bahwasanya Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya aku diberi kitab dan yang seumpama dengannya, jangan sampai salah seorang kalian berkata sambil duduk diatas sofanya dalam keadaan kenyang, Cukup kalian berpegang dengan Alquran ini saja.”
عن أبي رافع أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ” لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول لا ندري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه “)) رواه أبو داود والترمذي، وصححه الشيخ الألباني
Dari Abu Rofi’, bahwasanya Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda, “Aku tidak ingin mendapati salah seorang kalian duduk bersandar di atas sofanya lalu disampaikan kepadanya tentang sebuah urusan dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau sesuatu yang aku larang. Maka ia berkata, kami tidak tau, kami hanya mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.
Begitu pula kita tidak boleh membeda-bedakan antara hadist-hadits Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti menerima hadits-hadits yang mutawatir[3] saja dan tidak menerima hadits-hadits ahaad[4] (tidak mutawatir). Atau menerima hadits ahaad dalam persoalan hukum saja dan tidak menerima hadits ahaad dalam masalah aqidah. Cara-cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh generasi tauladan umat ini mulai dari para sahabat, tabi’iin, tabi’ at tabi’iin serta para ulama terkemuka setelah mereka. Pembahasan ini telah dikupas panjang lebar oleh imam Syafi’i dalam kitab beliau Ar Risalah.
Jika kita membeda-bedakan dalam menerima hadits-hadits Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam antara yang mutawatir dan yang ahaad, maka kita tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh dan sempurna. Para ulama ahli hadits terkemuka tidak pernah membedakan antara hadits ahaad dan hadits mutawati dalam segi penerimaan dan pengamalan. Mereka hanya membedakan dalam segi pengkajian dari segi kekuatan sanad. Tujuannya tatkala terdapat dua hadits yang kontradiksi dalam konteksnya maka hadits mutawatir lebih valit dari hadits ahaad, jika tidak bisa dicarikan titik temu dari kandungan kedua hadits tersebut. Namun perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Allah hampir tidak tidak termasuk kedalam kategori tersebut. Kesimpulannya bahwa hadits-hadits sifat tidak ada yang kotradiksi, jika merujuk dalam memahminya kepada pemahaman para ulama Ahlussunnah.
Termasuk dari penjabaran kaidah di atas, penegasan tentang sumber yang menjadi pegangan kita dalam memahami dan mengimani nama dan sifat-sifat Allah hanyalah perkataan Allah dan perkataan Rasul-Nya. Yaitu Alquran dan hadits-hadits yang shahih.
Karena yang lebih mengetahui tentang Allah adalah Allah itu sendiri, maka segala nama dan sifat-sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya wajib kita percayai dan tidak boleh kita selewengkan pengertiannya. Kalau ada orang yang mengingkari atau menyelewengkan pengertian dari sifat-sifat Allah, maka orang tersebut seolah-olah ia lebih mengetahui dari Allah. Oleh sebab itu Allah sebutkan dalam firman-Nya,
{قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّه} [البقرة/140]
“Katakanlah, “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah.”
Kemudian dikalangan manusia yang lebih mengetahui tentang Allah ada Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaiman beliau sebutkan dalam sabda beliau,
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن أتقاكم وأعلمكم بالله أنا ) رواه البخاري
“Sesungguhnya yang paling bertaqwa diantara kalian dan yang paling mengetahui tentang Allah adalah aku.”
Maka kita tidak boleh berpegang kapada akal semata dalam menetapkan dan memahami nama dan sifat-sifat Allah. Apalagi menolak dengan akal nama dan sifat-sifat Allah yang tedapat dalam Alquran dan sunnah.
Karena akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas, sebagaimana panca indra yang lainnya. Betapa banyaknya dalam kehidupan kita sehari-hari sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal manusia, seperti seperti hakikat dari ruh (nyawa) manusia itu sendiri. Pada hal ia adalah bagian yang paling terdekat kepada manusia.
Sebagian ulama memberikan perumpamaan akal dengan wahyu bagaikan mata dengan cahaya. Sebagaimana mata tidak dapat melihat sesuatu kecuali ketika ada cahaya, baik cahaya matahari di siang hari, atau cahaya lampu di malam hari. Demikian pula akal tidak akan bisa menentukan sesuatu terutama dalam hal yang ghaib, kecuali ada penjelasan dari wahyu.
Maka dari itu akal kita wajib tunduk dan menerima terhadap segala apa yang terdapat dalam Alquran dan sunnan. Baik berupa hukum-hukum maupun tentang nama dan sifata-sifata Allah. Sebagaimana diwajibkannya hati dan anggota badan kita untuk tunduk kepada segala hukum Alquran dan sunnah. Kita tidak boleh mendahulukan akal diatas Alquran dan sunnah, atau menjadikannya sebagai dasar untuk menentukan atau menetapkan nama dan sifat-siafat Allah. Apalagi menolak nama dan sifat-siafat Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadits-hadits shahih.
Demikian pula kita tidak menjadi teori-teori filsafat sebagai dasar dalam memahami nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat Alquran dan sunnah. Tetapi kita merujuk kepada pemahaman sahabat dan para ulama salaf dalam memahami Alquran dan sunnah secara umum dan dalam memahami nama dan sifat-sifat Allah secara khusus.
Kaidah kedua, Mensucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Dalam memahami nama dan sifat-sifat Allah kita tidak boleh menyerupakan sifat Allah dengan sifat para makhluk. Karena sifat Allah adalah sifata yang maha sempurna sedangkan sifat makhluk adalah sifat yang memiliki kekurangan. Jika ada orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk maka orang tersebut telah menyerupakan Allah dengan makhluk. Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk maka ia telah kafir dengan Allah. Karena bagaimana mungkin bisa disamakan antara Allah dengan makhluk. Sifat-sifat makhluk memiliki cacat dan kekurangan dalam berbagai segi. Sedangkan Allah Maha Suci dari segala kekurangan. Allah telah menegaskan dalam firman bahwa tiada sesuatupun dari makhluk yang menyerupaui-Nya.
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ} [الشورى/11]
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Dia (Allah), dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
{فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ} [النحل/74]
“Maka janganlah kalian menjadikan perumpamaan-perumpamaan bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.”
{وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} [الإخلاص/4]
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia (Allah).”
Dalam Ayat-ayat di atas di tegaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-nya. demikian pula tidak satu makhlukpun yang mirip atau menyerupai Allah, baik dari segi zat dan nama maupun dari segi sifat dan perbuatan.
Sebagaimana zat Allah tidak sama dengan zat makhluk demikian pula sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk. Karena setiap sifat keadaannya sesuai dengan zat masing-masing sifat itu sendiri.
Kesamaan dalam penyebutan nama sifat tidaklah mesti sama pula dalam bentuk makna dan hakikat sifat tersebut. Dalam kehidupan kita banyak sekali sifat yang sama namanya, tetapi hakikatnya berbeda sesuai dengan zat masing-masing sifat tersebut.
Sebagai contoh manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki sifat melihat. Tapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing tidak sama. Manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa senter. Adapun kucing bisa berjalan di malam hari meskipun tanpa senter. Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kwalitas makna, sekalipun sama dalam segi penamaan yaitu penglihatan. Maka perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk yang kurang amat jauh dari pada perbedaan antara sifat sesama makhluk, meskipun sama dari segi lafaz penamaan. Yang membedakan makna adalah kemana sifat tersebut disandarkan, maka sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat zat dimana ia disandarkan (digabungkan). Maka jangan dipahami ketika menyebut tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita tidak memahami tentang telinga gajah seperti telinga kodok atau telinga manusia, sekalipun sama-sama disebut telinga. Sifat-sifat akan berbeda sesuai dengan zat masing-masing sifat tersebut. Bahkan pada zat yang sama sifat bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu, namanya tetap disebut pendengaran. Bahkan sifat bisa berubah-rubah kwalitas dan frekuwensinya pada satu zat, ketika seseorang berumur lima tahun pendengarannya tidak sama ketika telah berumur lima puluh tahun.
Demikianlah halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadits-hadits yang shahih. Dimana Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah itu sendiri tidak seperti sifat-sifat makhluk.
Sebagaimana Allah bersifat hidup (Al Hayyu) demikian pula makhluk juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Allah tidak butuh pada makan dan minum adapun hidup makhluk butuh makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya.. adapun hidup Allah tidak diawali dengan ketiadaan (‘adam) dan tidak pula diakhiri dengan kematian (al fanaa’). Adapun hidup makhluk diawali dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian.
Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول, (( أعوذ بعزتك الذي لا إله إلا أنت الذي لا يموت والجن والإنس يموتون)) متفق عليه
Diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a, “Aku berlindung dengan keperkasaan Engkau. Yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Zat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati.” (HR. Bukhary dan Muslim).
Dalam sabda yang lain beliau katakan,
(اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ) رواه مسلم
“Ya Allah Engkaulah Yang pertama Tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan Engkalah yang terakhir tiada sesuatupun setelah Engkau. (HR. Muslim)
Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh dengan berbagai kekurangan.
Allah adalah Zat Yang Maha Hidup Sempurna, sebagaimana Allah katakan dalam firman-Nya,
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ البقرة, ٢٥٥
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur.”
Demikianlah kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah, kita tidak boleh menyerupakan Allah dengan makhluk sebaliknya kita juga tidak boleh mengingkari nama dan sifat-sifat Allah, yang Allah tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullahl shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau.
Dengan berlandaskan pada perkataan Allah,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ الشورى, ١١
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Dalam ayat diatas ditegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Sebahagian orang memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak memilki sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat makhluk. Aggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari ayat tersebut. Dimana Allah menyatakan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah katakan dalan firman-Nya,
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا الإنسان, ٢
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat.”
Dari sini dapat kita pahami bahwa Allah memilki sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada sebahagian mahkluk namun maknanya tidak sama dengan kwalitas makna sifat-sifat Allah. Kalau seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafikan sifat tentu konteknya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti langsung Allah nafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi yang dinafikan adalah kesamaan hakikat makna sifat bukan sifat. Sekalipun dalam penamaan sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.
Kaidah ketiga, Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebur.
Allah subhanahuwata’ala hanya menyebutkan dalam kita-Nya mulia tetang; bahwa Allah memiliki sifat yang bermacam-macam. Tetapi Allah tidak menyebutkan tentang bentuk hakikat dari sifat-Nya. Maka oleh sebab itu yang harus kita yakini adalah bahwa Allah memiliki sifat sekalipun kita tidak mengetahu bentuk hakikat sifat Allah. Karena meyakini tentang keberadaan sesuatu meskipun tidak mengetahui bentuk hakikatnya tidak mengurangi nilai keyakinan kita. Sebagaimana kita meyakini tentang adanya ruh (nyawa) tetapi kita tidak mengetahui tentang hakikat ruh tersebut.
Sebagaimana kita tidak pernah ragu tentang adanya ruh (nyawa) meskipun kita tidak mengetahui tentang hakikat ruh tersebut. Demikian pula kita yakin tentang adanya surga serta segala bentuk nikmat yang terdapat dalamnya, sekalipun kita belum pernah melihatnya.
Begitu pula kita meyakini Allah itu memiliki zat dan sifat, tetapi kita tidak mengetahui bentuk zat dan sifat Allah. Dan Allah pun tidak mewajibkan kepada kita untuk mengetahui bentuk hakikat dari sifat-Nya tersebut.
Maka oleh sebab itu kita tidak boleh berambisi untuk mengetahui hakikat dari sifat-sifat Allah tersebut. Karena bila itu kita lakukan berarti kita melampui batas dan ketentuan yang wajibkan Allah kepada kita. Demikian pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyuruh kita untuk mengetahui hakikat dari sifat-sifat Allah.
Begitu pula akal manusia tidak akan bisa mengetahui hakikat dari sifat Allah. Jangankan untuk mengetahui hakikat dari sifat Allah, mengetahui sesuatu yang amat dekat dengan manusia itu sendiri yaitu ruh, akal tidak mampu mengetahui hakikatnya.
Karena untuk mengetahui bentuk hakikat sebuah sifat dapat kita lakukan dengan tiga hal,
- Melihat zatnya, Sedangkan Allah tidak dapat kita lihat di dunia ini, maka sifat Allah tidak dapat kita ketahui bentuknya karena Allah itu ghaib, demikian pula sifat-Nya.
- Atau ada sesuatu yang mirip denganya, sedangkan Allah tidak ada sesuatupun yang mirip dengan-Nya, maka tidak mungkin untuk kita qiaskan atau kita bandingkan dengan sifat makhluk.
- Atau ada khabar shaadiq (berita yang akurat) yaitu wahyu, Alquran maupun hadits-hadits hanaya sebatas menyebutkan tentang bahwa Allah memilki sifat, tetapi tidak menerangkan tentang hakikat bentuk sifat Allah tersebut.
Allah telah mengharamkan kepada kita untuk mengatakan atau berbicara tentang sesuatu yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya.
{وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا} [الإسراء/36]
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ [الأعراف/33]
Katakanlah, “Sesungguhnya tuhanku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Maka kita diharamkan menggambarkan bentuk hakikat dari sifat-sifat Allah dalam bentuk tulisan dan lisan atau mengkhayalkannya dalam hati kita. segala rupa dan bentuk yang tergambar dalam benak kita tentang bentuk hakikat dari sifat Allah, sesungguhnya Allah jauh lebih indah, lebih besar dan lebih sempurna dari hal tersebut. Sesungguhnya kesempurnaan Allah dan kesmpurnaan sifat-Nya tidak akan mungkin untuk kita gambarkan rupanya dengan pemikiran kita sama sekali.
Apakah ini berarti bahwa sifat-sifat Allah itu tidak memiliki kaifiyah (bentuk)? Sifat-sifat Allah itu ada kaifiyahnya, tapi yang mengetahui bentuknya hanyalah Allah semata. Adapun makhluk tidak mengetahui bentuk kaifiyah sifat-sifat Allah. Yang dinafikan bukan kaifiyahnya, tetapi yang dinafikan adalah ilmu makhluk tentang kaifiyah tersebut.
Ketidak tahuan makhluk tentang bentuk hakikat sifat Allah, tidak merupakan sebuah kekurangan dalam meyakini atau mempercayai sifat Allah. Karena banyak diantara makhluk yang manusia tidak mengetahui hakikatnya, namun meyakini keberadaanya. Seperti keberadaan ruh, malaikat, jin, luh mahfuz, surga dan neraka dan lain-lain sebagainya.
Demikian bahasan kita kali ini semoga bemanfaat bagi penulis dan pembaca serta segenap kaum muslimin. Wallahu A’lam.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك
Penulis Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com
[1] “Miftah Darussa’adah”: 1/86.
[2] Pembahasan ini bisa dilihat dalam kitab: “Attadmuriyah” dan “fatawa al hamawiyah” karangan syeikh Islam Ibnu Taimiyah “Manhaj wa dirosat li ayat Asmma’ was sifat karangan syeikh Muhammad Amin Syangqithy, “Mu’taqad Ahlussunnah wal jama’ah fi tauhid Asmaa’ was sifat karangan Prof. Dr. Muhammad bin Kkhalifat Attamimy.
[3] Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi hadits yang amat banyak dan tidak mungkin mereka bersepakat untuk melakukan kebohongan.
[4] Hadits ahaad adalah hadits yang tidak sampai jumlah perawinya pada tingkat mutawatir. Bila hadits ahaad memenuhi kriteria syarat-syarat hadits shahih meskipun diriwayatkan melalui jalan satu orang rawi,maka hadits tersebut wajib diterima menurut kesepakatan para ulama ahli hadits.
assalamua’laikum..ustad,mohon ijin share artikel nya..barakallahu fiikum.
saya kopi artikelnya ya ustadz…jzk.