Para pembaca yang dirahmati Allah! Semoga petunjuk Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Pada bahsan yang lalu kita telah menjelaskan tentang jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhadap Syubhat ’Aqliyah (argumen logika) para pengingkar sifat ’Uluw. Sebagai kelanjutan dari pembahasan tersebut, bagaimana pula jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhada Syubhat Naqliyah (argumen takwil) para pengingkar sifat ‘uluw terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut bagi Allah?
Ada dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat ‘Uluw terhadap nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah:
Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah dengan cara mentafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) dan mengingkari makna yang terkandung lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para ulama salaf. Mereka tidak bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf dengan tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf adalah dalam masalah kaifiyah (bentuk /hakikat) tentang sifat tersebut bukan makna dari sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam adalah tafwidh terhadap makna sifat.
Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita jelaskan dalam pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat. Secara ringkas dapat kita sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;
- Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat tersebut tidak bisa dipahami dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.
- Menurut mereka Al Qur’an tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal Allah, karena menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya.
- Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi ﷺ dan para sahabat y dalam membaca ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak memahaminya dan tidak mengetahui maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk kepada Nabi ﷺ dan para sahabat mulia رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.
Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat bertolak belakang dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah mempermainkan ayat-ayat Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk kepada topik pembahasan takwil para Ahli kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw, ada baiknya terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama tentang pengertian takwil secara ringkas.
Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:
Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur dikalangan ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir yang terdahulul (mutaqaddimin).
Seperti yang terdapat dalam do’a Nabi ﷺ untuk sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas t:
“اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل”
“Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir)” [2]
Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang kali menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang monumental “Jaami’ul Bayaan“:
““القول في تأويل قوله تعالى
“Penjelasan tentang takwil (tafsir) firman Allah Ta’alaa“.
Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat dari mimpi nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya. Lalu mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
{ وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا وَقَالَ يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا} [يوسف/100]
“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) menundukkan diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai ayahku inilah takwil mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”.
Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam ungkapan mereka.
Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain karena adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya dikenal dikalangan para ulama yang zaman terakhir (muta-akhirin) secara khusus lebih banyak dipergunakan oleh para ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil untuk makna ini menetukan syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil terhadap sebuah nash/dalil.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
- Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada qorinah/dalil lain yang mendukungnya, baik dalil syar’i atau dalil lughawi (bahasa).
Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.
- Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan gramatika bahasa Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah lafaz dan kalimat.
Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata ‘Ainun bisa berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus (intel) dan bisa juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna yang sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang terdapat dalam sebuah ungkapan.
- Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah diantara makna-makna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut dalam bahasa Arab.
Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam makna lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa dengan makna menjaga rahasia guru-guru mereka.
- Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan tersebut, baik dalil syar’i maupun dalil lughawi (garamatika bahas Arab).
Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:
{قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ} [ص/75]
“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?.
Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis juga diciptakan dengan qudrat Allah.
Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut dinilai sebagai takwil fasid (cacat). Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar atau bisa salah, dan bahkan bisa menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil seperti ini sering dipergunakan oleh para pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada berikutnya nanti. Alat untuk mengukur dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan merujuk kepada pemahaman para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.
Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw
Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam mengingkari sifat-sifat Allah subhaanahu wata’alaa yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, secara khusus sifat ‘Uluw.
Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw dan Fauqiyyah (Allah di atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan (rutbah dan qohhar).
Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: “emas lebih tinggi dari perak”, “ketua lebih tinggi dari wakilnya”. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah ketinggian nilai dan kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang lainnya. Demikian analogi yang mereka pakai dalam mentakwil nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah subhaanahu wata’alaa.
Sebagai contoh firman Allah:
{أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاء} [الملك/16]
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”
Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas langit.
Contoh lain firman Allah:
{يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ} [النحل/50]
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka“
Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka atau Allah lebih berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.
Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, akan tetapi mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mulia di atas seluruh makhlukn-Nya.
Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna ‘uluw secara mutlak bagi Allah, baik dari segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha Mulia.
Jawaban Ahlussunnah:
Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat ‘Uluw dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:
- Mentakwil nash-nas ‘Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai dengan gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut tidak berbicara tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya dalam segi kekuasan dan kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah dan makhluk dalam hal tersebut! Hal tersebut sama dengan ungkapan seseorang: “permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang” atau “pedang lebih tajam dari pada tongkat”. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua orang akan ketawa mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh perbedaan anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya Allah Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.
- Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Qur’an maupun melalui sabda Rasul r, bahwasanya Dia (Allah) lebih mulia dari ‘Arasy, atau lebih baik dari langit. Akan tetapi perbandingan yang sering disebutkan dalam Al Qur’an tentang sesembahan dari selain Allah manakah yang lebih baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:
{أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآَبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ} [يوسف/39، 40]
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
- Nash-nash yang menyatakan tentang sifat ‘Uluw (keMahatinggian Zat Allah) di atas seluruh makhluk-Nya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan takwil terhadap sifat tersebut.
Sebagai contoh firman Allah:
{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُه}ُ [فاطر/10]
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia angkat kepada-Nya“.
Dan firman Allah:
{بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْه} [النساء/158]
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“.
Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan posisi dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan kekuasaan atau makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.
Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa (استوى) yang terdapat dalam Al Qur’an dengan makana Istawlaa (استولى).
Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat ‘Uluw adalah ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah beristiwaa di atas ‘Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan permasalahan ini dalam pembahasan tentang dalil-dalil ‘Uluw dari ayat-ayat Al Qur’an. Namun orang-orang Ahlul kalam berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara mentakwilnyat dengan makna istilaa (berkuasa).
Jawaban Ahlussunnah:
- Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:
- Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .
- Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .
Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam gramatika Muqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.
Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau matang (كمل وتمّ) . seperti diungkapkan dalam bahasa Arab: (استوى النبات، واستوى الطعام) atinya: tanaman itu telah tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.
Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:
- Digabung dengan huruf banru Ilaa (إلى) seperti dalam ungkapan berikut: استوى فلان إلى السطح artinya: Sipulan naik ke atas loteng”. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al Qur’an dalam dua ayat:
Pertama dalam firman Allah:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ} [البقرة/29]
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit”.
Kedua dalam firman Allah:
{ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ} [فصلت/11]
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap“.
Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna: قصد (bermaksud) dan makna علا وارتفع (tinggi/ di atas) untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat dari sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.
- Digabung dengan huruf bantu ‘Alaa (على) sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:
Pertama dalam firman Allah:
{وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ} [هود/44]
“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi“
Kedua firman Allah:
{لِتَسْتَوُوا عَلَى ظُهُورِهِ} [الزخرف/13]
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya“.
Ketiga firman Allah:
{فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ} [الفتح/29]
“Tegak lurus di atas rumpunnya”.
Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna علا وارتفع (tinggi/ di atas) dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat tujuh ayat[3] yang muqayyad dengan huruf ‘Alaa (على) sebagaimana telah jelaskan ketika membahas dalil-dalil ‘Uluw dalam Al Qur’an.
Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam hal yaitu: muqayyad dengan huru Ilaa (إلى) atau huruf ‘Alaa (على) saja.
- Digabung dengan huruf penghubung Waaw (واو) yang menunjukkan akan makna maf’ul ma’ah (kesamaan /sebanding) seperti ungkapan seseorang: (استوى الماء والخشبة) artinya air dan kayu sejajar.
Jika kita cermati lafaz Istawaa (استوى) dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada satupun yang bermakna Istawlaa (استولى) dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa arab yang terpercaya menyebutkannya.
Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa (استوى) dengan makna Istawlaa (استولى)? Beliau menjawab: “ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak pernah digunakan dalam bahasa mereka”[4].
- Istawaa (استوى) dan Istawlaa (استولى) adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz dan makna. Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa (استولى) dalam Al Qur’an dan sunnah maupun dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa (استوى), ini membuktikan bahwa lafaz Istawaa (استوى) tidak boleh ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى), kalau hal tesebut diperbolehkan tentu akan terdapat penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.
Andaikan lafaz Istawlaa (استولى) disebutkan dalam Al Qu’an, namun bila dibandingkan lafaz Istawaa (استوى) jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang seharusnya dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa (استوى) untuk lafaz Istawlaa (استولى), bukan sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa (استولى) tidak pernah penah disebut dalam Al Qur’an, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa (استولى) sebagai takwil bagi lafaz Istawaa (استوى)?
- Bila Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) hal tersebut akan melazimkan kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal tersebut ditinjau dari beberapa segi:
- Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa (استوى) didahului oleh kata penghubung Tsumma (ثم) yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa (tartib).
Sebagaimana dalam firman Allah:
{اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ} [السجدة/4]
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy“.
Bila lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) berarti ‘Arsy sebelumn pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu ‘Arasy tersebut di bawah kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa (استولى) itu menguasai jauh beda dengan makna Istawaa (استوى).
- Bila Bila lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) berarti ada yang berusaha menguasai ‘Arasy dari selain Allah! karena penggunaan lafza Istawlaa (استولى) dalam bahsa Arab adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling berebut menguasai sesuatu, bila salah satu di anatara keduanya dapat mengalahkan yang lainnya maka ia disebut menguasanya (عليه استولى). Apakah ada yang berusaha merebut ‘Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila ada di anatara manusia yang berasumsi demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan yang nyata.
- Jika lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) yang artinya menguasai. Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan yang kedua-duanya bagaikan memakan buah simalakama:
- Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa (استواء) di atas gunung, di atas pohon, dan di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan tidak terbatas atas ‘Arasy saja. Lalu apa artinya Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa (استواء) dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!?
- Atau Allah hanya mengusai ‘Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa (استواء) dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!? Lalu siapa yang menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?
Kesimpulanya lafaz Istawaa (استوى) tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara’ dan lughah.
- Jika lafaz Istawaa (استوى) ditakwilkan dengan makna Istawlaa (استولى) ini adalah tahrif (penyelewengan) terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang Bani Irail ketika diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh (ampunan) mereka menukar ucapan tersebut dengan kata Hinthoh (gandum).
Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:
{وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ (58) فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ} [البقرة/58، 59]
“Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka“.
Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang Bani Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh sebab itu ulama kita mengatakan Laam (ل) yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap lafaz (استوى) sehinggga menjadi (استولى) sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang menambah Nuun (ن) terhadap kalimat (حطّة) sehingga menjadi (حنطة).
- Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa (استوى) dengan makna Istawlaa (استولى) adalah takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Akan tetapi dalam kenyataannya justru mereka terjatuh pada lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk juga memilki sifat Istawlaa (استولى). Jika mereka menetapkan sifat Istawlaa (استولى) bagi Allah berarti mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka mentakwil sifat Allah dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena Istawlaa (استولى) maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai ‘Arasy. Oleh sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an, demikian pula Rasulullah r dalam sabdanya.
Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa’ (استواء): bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak sama seperti beristiwaa’nya makhluk.
- Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw adalah takwil yang cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang ditetukan oleh para ulama sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan Tidak ditemukan seorang pun dari para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw bagi Allah. Kecuali mereka yang terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.
- Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asy’ari. Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz (استوى) dengan makna (استولى) dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[5]: “Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى} [طه/5]
“Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.
Menurut mereka makna (استوى) adalah menguasai (وملك وقهر استولى) dan zat Allah berada disetiap tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas ‘Arasy sebagaimana yang diyakini oleh Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa’ dengan Qudrah.
Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara ‘Arasy dengan bumi yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi, tempat buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah. Jika istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy diartikan istilaa’ tentu Allah itu beristiwaa’ di atas segala sesuatu?! berarti Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di atas segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu berarti Ia telah memilikinya (مستول عليه). Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada seorangpun dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa’ di atas tempat buang hajat dan kotoran…”.
“Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”. Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis bumi, ini senua merupakan kemustahilan dan saling bertentangan”.
Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.
Wallahu A’lam wa Ahkam
Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA
Follow Us : Facebook Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA (bisa ikuti kajian LIVE via Facebook)
Twitter @Ali_Musri_SP | Instagram @ali_musri_semjan_Putra
[1] Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab “Jinayah at Takwil al Faasid” karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab ‘Ulumuttafsir.
[2] H.R. Imam Ahmad no (2397), dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam “silsilah shohihah” no (2589).
[3] Lihat: Q.S. Al A’raaf: (54), Yunus: (3), Thohaa: (5), Ar Ra’d: (2), Al Furqon: (59), As Sajdah: (4), Fushshilat: (11).
[4] Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.
[5] Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.
Afwan Ustadz
Ana dari perawang siak pekanbaru
mohon izin ngeposkan artikelnya
Jazakallahu khair