Bencana adalah buah dosa perbuatan manusia
Segala fasilitas yang diberikan Allah, kita mamfaatkan untuk durhaka kepada-Nya; mulai dari mata, telinga dan lidah kita pergunakan untuk hal yang haram, untuk film-film, nyanyi-nyanyian dan berkata bohong. Makan dan minum serta pakaian kita bersumber dari usaha yang haram, mungkin dari hasil perampokan, pembunuhan, pelacuran, korupsi, kolusi, sogok, atau hasil penipuan, perjudian, penjualan CD porno dan seterusnya. Itulah diri kita, apakah kita tidak pantas untuk diazab? Bagaimana Allah akan mengabulkan doa kita, sementara keadaan kita selalu bergelimang dengan segala hal yang haram? Perhatikanlah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang yang menemui kelelahan dalam perjalanan yang panjang, dalam kondisi seluruh tubuhnya dipenuhi debu, lalu dia menngangkat kedua telapak tangannya kelangit sambil berdoa “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bagaimana Allah akan mengabulkan doanya, sedangakan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dia dibesarkan dari yang haram?” (HR. Imam Muslim, no. 1015).
Dari hadits di atas, jelas sekali bagaimana akibat dari menikmati sesuatu yang haram, sekalipun dia dalam kondisi yang sangat membantu supaya dikabulkan doanya. Karena dalam sebuah hadits lain disebutkan, bahwa doa musafir itu terkabul sekali, tapi ada hal yang meghalanginya yaitu memakan harta yang haram. Kisah di atas bisa untuk membandingkan dan menilai kondisi kita.
Tapi, Allah masih memberikan waktu kepada kita untuk bertaubat, untuk kembali kepadanya, apakah kita akan menunda-nunda taubat itu, sampai azab Allah yang lebih besar lagi datang kepada kita? Mari kita simak firman Allah berikut,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Jikalau Allah menyiksa manusia (sesuai) dengan kezaliman mereka, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menagguhkan (penyiksaan) mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesa’atpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (QS. An-Nahl: 61).
Dalam ayat yang lain berbunyi,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلَكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيراً
“Dan jikalau Allah mennyiksa manusia dengan segala apa yang mereka usahakan, niscaya tidak akan tertinggal di atas permukaan bumi ini satupun dari binatang yang melata, tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai pada waktu yang ditentukan. Maka, apabila telah tiba (waktu yang ditentukan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. Faathir: 45).
Simak lagi kalam Ilahi,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ. أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتاً وَهُمْ نَآئِمُونَ. أَوَ أَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَن يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ. أَفَأَمِنُواْ مَكْرَ اللّهِ فَلاَ يَأْمَنُ مَكْرَ اللّهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Dan jika sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami menyiksa mereka dengan apa yang mereka usahakan. Maka, apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami di malam hari saat mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari kedatangan siksaan Kami pada waktu duha ketika mereka sedang bermain-main? Atau apakah penduduk berbagai negeri merasa aman dari ancaman azab Allah (yang tanpa diduga-duga)? Tidaklah yang merasa aman dari ancaman azab Allah, kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf: 96-99).
Itulah janji dan acaman Allah bagi umat manusia yang tidak mau beriman dan bertakwa, Allah nyatakan pula dalam ayat diatas bahwa kesejahteraan dan kemakmuran hanya dengan beriman dan bertakwa kepada-Nya. Allah tidak akan mengazab penduduk suatu negeri, kecuali mereka itu telah melampui batas dalam kezaliman mereka, baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Allah katakan dalam ayat yang lain,
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan berbagai negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Huud: 117).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan Kami tidak pernah menghacurkan berbagai negeri, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan dalam sabdanya, “Tidaklah seorang hamba ditimpa sebuah bencana, baik besar, maupun kecil, kecuali dengan sebab dosa, dan apa yang dimaafkan Allah jauh lebih banyak.” (HR. At-Tirmizi, no. 3252), kemudian beliau membaca firman Allah,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kamu, adalah sebab usaha tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Asy Syura: 30).
Berulang kali Allah menceritakan tentang kaum-kaum yang dihancurkan dalam kitab-Nya yang mulia, supaya umat manusia mengambil ‘ibrah dan pelajaran dari kisah mereka, mengapa mereka ditimpa azab dan bencana? Apakah karena mereka miskin? Atau karena tidak punya angkatan perang yang cukup? Atau karena system politik dan ekonomi mereka yang lemah? Atau karena hal lain yaitu karena kufur kepada Allah, tidak mau bersyukur kepada Allah, serta menolak kebenaran yang diturunkan Allah?
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُونِ مِنْ بَعْدِ نُوحٍ وَكَفَى بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’: 16-17)
أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ . ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآَخِرِينَ . كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ
“Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu? Kemudian Kami perlakukan (azab Kami terhadap) mereka akan orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah Kami berbuat terhadap orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Mursalaat: 16-18).
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka, masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40).
Manusia saat ditimpa suatu musibah atau cobaan terbagi kepada tiga bentuk dalam menghadapi dan menyikapi musibah atau cobaan tersebut:
Bentuk pertama: ada orang dengan datangnya sebuah musibah atau bencana membuatnya kembali kepada Allah, ia sabar dalam menerimanya dan ia bangun dari kealpaannya selama ini, maka hal itu baik baginya sehingga membuatnya bertaubat dan menyesali segala perbuatan dosa-dosanya yang berlalu. Inilah orang yang beruntung saat ditimpa musibah. Orang ini digambarkan Allah dalam firman-Nya,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ . الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ . أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
“Dan sesungguhnya Kami akan mengujimu dengan sedikit dari rasa takut, kelaparan, kekurangan harta dan (kehilangan) jiwa serta (kurangnya) buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (dalam menerimanya). Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Sesungguhnya, kami milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.’ Mereka itulah yang mendapat keberkatan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157).
Bentuk kedua: ada orang dengan datangnya bencana atau musibah, seketika itu dia tertunduk dan bertaubat kepada Allah, dia berdoa kepada Allah pada setiap saat. Tapi setelah musibah dan bencana itu berlalu ia kembali kepada kedurhakaan kepada Allah, ia kembali melakukan segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran yang biasa dilakukannya sebelum datangnya bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firmannya,
وَإِذَا مَسَّ الإِنسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنبِهِ أَوْ قَاعِداً أَوْ قَآئِماً فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَن لَّمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَّسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya, dia (kembali) melalui (jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampui batas memandang baik apa yang mereka lakukan.” (QS. Yunus: 12).
Bentuk ketiga: ada orang yang ketika ditimpa bencana atau musibah justru semakin bertambah durhaka dan bertambah kufur kepada Allah, dia semakin berjadi-jadi melakukan maksiat dan kemungkaran tersebut. Bahkan dia memfaatkan situasi tersebut untuk melakukan segala bentuk perbuatan keji dan hina. Apakah itu mencuri, merapok, berzina dan segala macam bentuk maksiat serta manipulasi bantuan yang disalurkan untuk membantu orang-orang yang sedang menderita akibat bencana tersebut. Orang seperti ini digambarkan Allah dalam firmannya,
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
“Dan sesungguhnya, Kami telah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tetap tidak mau tunduk kepada Tuhan mereka dan juga mereka tidak mau merendahkan diri.” (QS. Al-Mu’minuun: 76). Dalam ayat lain Allah ungkapkan,
أَوَلاَ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لاَ يَتُوبُونَ وَلاَ هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa mereka itu diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) mau bertaubat dan tidak (pula) mereka mengambil pelajaran?” (QS. At-Taubah: 126).
Allah sebut juga dalam firman-Nya,
فَلَوْلَا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 43).
Maka melalui apa yang kita paparkan di atas, bahwa jalan keluar dari bencana dan musibah ini adalah dengan bertaubat kepada Allah dari mengerjakan segala bentuk dosa dan memohan keampunan kepada Allah dari dosa-dosa tersebut, kemudian diiringi dengan mengerjakan segala perbuatan yang makruf dan beramal shaleh.
Allah sebutkan dalam firman-Nya,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan membuka baginya pintu keluar (dari berbagai persoalan). Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada dikira-kira.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3).
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka orang berkuasa di muka bumi, sebagimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridahi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, dari perasaan (diselimuti) ketakutan menjadi aman sentausa. (selama) mereka tetap menyembah-Ku tampa melakukan kesyirikan kepada-Ku sedikitpun. Dan barang siapa yang masih (tetap) kafir setelah janjian itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55).
Ketika kaum muslimin ditimpa musim paceklik di masa khalifah Umar bin Khatab radhiallahu ’anhu, ia membaca dalam doa yang dipanjatkannya kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnnya suatu musibah tidak akan turun kecuali dengan sebab dosa, dan tidak akan diangkat kecuali dengan bertaubat.”
Marilah setiap kita melihat pada diri masing-masing di mana letak diri kita dalam melaksanakan perintah dan larangan agama, bila hasilnya selalu terbalik, setiap perintah kita lalaikan dan setiap larangan kita lakukan, maka hendaklah kita berputar haluan dari hal yang berlawanan tersebut kepada jalan yang lurus.
Bertaubat butuh kepada beberapa aspek penghayatan:
Pertama: Meninggalkan perbuatan dosa tersebut dengan spontan.
Kedua: Menyesali perbuatan tersebut dengan sepenuh hati.
Ketiga: Berjanji dengan sepenuh hati untuk tidak akan kembali mengulangi perbuatan tersebut.
Keempat: Mengembalikan hak orang lain kepada sipemiliknya.
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A
Artikel www.Dzikra.com
Assalamualaikum.
Menarik dan bermaklumat. Mudah difahami dan diamal.
Salam