Akidah Imam Syafi’i Tentang Khatamin Nubuwah (Seri 1)

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, salawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk Mereka sampai hari kiamat.

Sebagai kelanjutan dari serial Mengenal Aqidah Imam Syafi’i Lebih Dekat pada pembahasan kali ini kita angkat topik “Aqidah Imam Syafi’i Tentang Khatamin Nubuwwah”. Karena pada akhir-akhir ini mulai maraknya nabi-nabi palsu serta gerakan penyebar ajaran nabi palsu dan gerombolan pembela terhadap ajaran nabi palsu tersebut. Sebagaimana yang telah kita kemukakan pada pembahsan yang lalu bahwa Imam Syafi’i adalah sosok ulama yang sangat konsisten dalam berpegang kepada ajaran Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu kita tidak akan temukan adanya perbedaan antara apa yang diyakini Imam Syafi’i dengan apa yang telah menjadi keyakinan seluruh orang Islam semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sampai akhir zaman. Bahwa kenabian maupun kerasulan tidak ada lagi setelah kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Keyakinan ini adalah baku dan solid berdasrkan Alquran dan Hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam serta ijmak para sahabat, tabi’iin dan tabi’ attabi’iin, serta Seluruh orang Islam dari masa ke masa.

Keyakinan tentang risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah penutup segala kenabian dan kerasulan di ungkapkan berulangkali oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab-kitab beliau:

Diantaranya dalam kitab “Ar Risalah” beliau nyatakan,

“فكان خيرته المصطفى لوحيه المنتخب لرسالته المفضل على جميع خلقه بفتح رحمته وختم نبوته”. الرسالة  الشافعي م ت أحمد شاكر  مع التعليقات – (ج 1 / ص 12)

“Maka adalah ia (Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam) pilihan yang terbaik untuk (menyampaikan) wahyu-Nya, yang diutus untuk (mengemban) risalah-Nya, yang dimuliakan diatas seluruh makhluk-Nya sebagai pembuka (pintu) rahmat dan penutup (pintu) kenabian-Nya.”

Dalam ungkapan Imama Syafi’i di atas dengan tegas dan jelas belaiu nyatakan bahwa kenabian telah ditutup Allah dengan dipilinya nabi Muhammad sebagai nabi yang paling mulia diatas seluruh makhluk. Beliau dipilih Allah sebagai nabi penutup segala kenabian maka tidak ada lagi nabi setelah beliau. Dan kitab beliau adalah kitab suci yang terakhir maka tidak ada lagi kitab suci setelah kitab suci yang diturunkan kepadanya.

Sebagaimana beliau nyatakan hal tersebut pada bagian lain dalam kitab beliau yang sama,

“فعلى كل مسلم أن يتعلم من لسان العرب ما بلغه جهده حتى يشهد به أن لا إله إلا الله وأن محمد عبده ورسوله ويتلو به كتاب الله وينطق بالذكر فيما افترض عليه من التكبير وأمر به من التسبيح والتشهد وغير ذلك وما ازداد من العلم باللسان الذي جعل الله لسان من ختم به نبوته وأنزل به آخر كتبه كان خيرا له”. (الرسالة للشافعي : ص 48-49)

“Maka diatas setiap muslim hendaklah ia mempelajari bahasa Arab sesuai dengan kesanggupannya. Sehingga ia mampu mengucapkan syahadat (dengar benar): Bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muahammad itu adalah hamba dan rasul-Nya. Dan ia mampu membaca kitab Allah serta mengucapkan zikir yang diwajibkan kepadanya dari bertakbir. Dan apa yang diperintahkan kepadanya untuk bertasbih, tasyahud dan lain-lain demikian. Dan semakin bertambah ilmunya dengan bahasa Arab. Yang Allah jadikan sebagai bahasa orang yang ditutup (pintu) kenabian dengannya. Dan menurunkan kitab-Nya yang terakhir dengannya (berbahasa Arab). Adalah hal tersebut amat baik baginya.”

Dalam ungkapan diatas Imam Syafi’i memotifasi setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah bahasa Nabi yang terakhir dan bahasa kitab suci yang terakhir pula.

Demikian pula beliau nyatakan dalam kita beliau “Al umm”,

“(قال الشافعي) رحمه الله تعالى: الناس عباد الله فأولاهم أن يكون مقدما أقربهم بخيرة الله لرسالته ومستودع أمانته وخاتم النبيين وخير خلق رب العالمين محمد عليه الصلاة والسلام”. الأم  الشافعي م – (ج 4 / ص 167)

Berkata Imam Syafi’i rahimahullah, “Manusia (seluruhnya) adalah para hamba Allah. Maka yang paling utama untuk didahulukan adalah mereka yang dekat (garis keturunnannya) dengan pilihan terbaik Allah untuk (mengemban) risalah-Nya, tempat penyimpan amanah-Nya, penutub segala nabi-nabi, yang terbaik (dari seluruh) makhluk Robb sekalian alam, (yaitu) Muhammad ‘Alaihisshalatu wassalaam.”

Pada bagian lain dari kitab “Al Umm” beliau jelaskan pula disertai dengan ayat yang menjadi landasan pegangan beliau dalam pernyataan tersebut,

“وكان في ذلك ما دل على أنه بعث إلى خلقه لانهم كانوا أهل كتاب أو أميين وأنه فتح به رحمته وختم به نبوته فقال عزوجل { مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ} “. (الأم  الشافعي م – (ج 4 / ص 168) و(أحكام القرآن  الشافعي م ت عبد الغني عبد الخالق/2 – (ج 2 / ص 7)

“Dan pada yang demikian itu terdapat hal yang menunjukkan bahwa ia (Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam) diutus kepada seluruh makhluk. Karena mereka adalah Ahli kitab atau orang-orang ummiyyiin. Dan bahwa sesungguhnya Allah telah membuka dengannya rahmat-Nya. Dan telah menutup kenabian dengannya”. Maka Allah berfirman, “Tiadalah Muhammad itu bapak salah seorang dari laki-laki kalian. Dan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup segala nabi-nabi.”

Seluruh orang islam semenjak zaman Rasulullah memahami ayat diatas sama dengan apa yang pahami oleh Imam Syafi’i. Baik secara textual maupun kontextual ayat tersebut secara tegas dan jelas menyatakan bahwa nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah penutup segala nabi-nabi.

Bila kita mencoba menelaah dan merenungkan kandungan ayat tersebut niscaya kita akan termukan  makna yang lebih dalam lagi. Dimana Allah menutup ayat tersebut dengan kata-kata,

{وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا} [الأحزاب/40]

“Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Hal ini menunjukkan bahwa keputusan dan ketentuan Allah dalam ayat tersebut merupakan aplikasi dari kesempurnaan ilmu Allah. Karena wahyu yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah hukum yang baku dan berlaku sampai hari kiamat, tidak akan mengalami perobahan lagi. Dimana ajaran yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam adalah ajaran yang sempurna dalam segala segi dan aspek kehidupan manusia. Penggalan akhir ayat tesebut juga sebagai ancaman bagi orang yang melanggar dan menentang keputusan Allah tentang telah ditutupnya pintu kenabian dengan kenabian Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Allah Maha Mengetahui ucapan dan perbuatan orang-orang yang menentang dan melanggar isi ayat tersebut. Mereka akan menerima balasan yang setimpal di akhirat kelak. Segala tipu muslihat mereka tidak pernah tersembunyi dari ilmu Allah.

Dalil-dalil yang menyatakan telah di tutupnya pintu kenabian.

Pandangan dan keyakinan serta pernyataan Imam Syafi’i diatas berdasarkan kepada dalil-dalil dari Alquran dan sunnah. Berikut ini marilah kita simak dalil-dalil yang menyatakan telah ditutupnya pintu kenabian setelan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam sampai akhir zaman.

A. Dari ayat-ayat Alquran.

    • Firman Allah dalam surat Al Ahzaab ayat: 40.

    قال تعالى{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا} [الأحزاب/40]

    Tiadalah Muhammad itu bapak salah seorang dari laki-laki kalian. Dan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup segala nabi-nabi.”

    Ayat ini sangat tegas dan jelas menyatakan bahwa kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam merupakan penutup segala nabi-nabi.

    قال ابن جرير الطبري: “الذي ختم النبوة فطبع عليها، فلا تفتح لأحد بعده إلى قيام الساعة” .تفسير الطبري م الرسالة/24 – (ج 20 / ص 278)

    Berkata Imam mufassiriin Ibnu jarir rahimahullah: “Yang telah menutup kenabian, lalu dicap stenpel diatasnya. Maka tidak akan dibuka bagi seorangpun setelahnya sampai hari kiamat.”[1]

    Berkta Ibnu Katsir rahimahullah, “Maka ayat ini tegas menyatakan bahwa tidak ada nabi sesudanya (nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam). Apabila tidak ada nabi setelahnya, maka lebih utama dan lebih pasti lagi tidak ada pula rasul setelehnya. Karena tingkat kerasulan lebih khusus dari pada tingkat kenabian. Karena setiap rasul adalah nabi, dan tidak sebaliknya. Tentang hal itu telah terdapat hadits-hadits yang mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melaui para sahabat.”[2]

    Seluruh ulama ahli tafsir sepakat akan penafsiran ayat tersebut, mulai dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sampai masa kita sekarang dari ulama-ulama terkemuka dikalangan umat ini. Barangsiapa yang menyelisihi ijmak (kesepakan) mereka maka orang tersebut adalah sesat dan menyesatkan yang diancam oleh Allah dalam firman-Nya berikut,

    {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} [النساء/115]

    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

    Ayat ini dinyatakan oleh Imam Syafi’i sebagai hujjah tentang kekuatan ijmak para ulama[3]. Barangsiapa yang menyalahi ijmak maka ia terancam ayat di atas.
    =Bersambung Insya Allah=

    Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
    Artikel www.dzikra.com


    [1] Lihat Tafsir Ibnu Jarir: 20/278-279.
    [2] Lihat Tafsi Ibnu Katsir: 6/428.
    [3] Lihat Ahkaamul Qur’an: 39.

    2 thoughts on “Akidah Imam Syafi’i Tentang Khatamin Nubuwah (Seri 1)

    1. Assalamualaikum

      Afwan ustadz, saya mau tanya bagaimana memahami
      Hadits ini ?

      Telah menceritakan kepada kami Ahmad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muqaddam  bin Yahyaa bin ‘Athaa’ bin Muqaddam, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami pamanku Al-Qaasim bin Yahyaa, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala akan menggenggam bumi dengan tangan kiri-Nya dan menggenggam langit-langit dengan tangan kanan-Nya. Lalu Ia berfirman : ‘Akulah Raja” [Al-Mu’jamul-Ausath, 2/86 no. 1331; sanadnya shahih].

      Teman saya mengatakan bahwa adanya tangan kiri
      Dg dalil hadits tsb, & saya tawaquf karena
      Tidak memahaminya, semoga ustadz berkenan
      Menjelaskan kepada saya AL-Faqir ilmi Abdul Ghani
      Jazaakallaahu Khairan

    Leave a Reply to Abdul Ghani Cancel reply

    Your email address will not be published.